Permasalahan yang Tersisa dari Kalijodo
- Danar Dono - VIVA.co.id
VIVA.co.id – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membeberkan sejumlah persoalan yang tersisa usai penertiban kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara beberapa waktu lalu. Persoalan itu merupakan aduan yang disampaikan sejumlah perwakilan warga kepada Komnas HAM, pada Rabu 24 Agustus 2016.
Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa Penggusuran Kalijodo, Hafid Abbas mengatakan, setidaknya ada enam permasalahan yang paling mendesak yang dikeluhkan warga. Mulai dari penyediaan tempat tinggal warga yang digusur, hingga alokasi anggaran untuk penggusuran dan penataan kembali kawasan yang bersumber dari corporate social responsibility (CSR) pihak swasta.
"Permasalahan pertama, sebanyak 6.027 kepala keluarga yang terkena imbas penggusuran Kalijodo, hanya 200 KK (Kepala keluarga) yang sudah tertampung di Rusun Marunda. Sementara sisanya, menurut warga, terpaksa mengontrak rumah-rumah petak di kawasan Gang Seruni bahkan beberapa harus tinggal di kolong jembatan," kata Hafid dikutip dari keterangan resminya, Kamis 25 Agustus 2016.
Warga juga menyebutkan, sebagian masyarakat yang tinggal di Rusun Marunda juga memilih pergi karena merasa keberatan dengan biaya retribusi sebesar Rp300 ribu per bulan. Saat ini sudah terdapat 14 KK yang terpaksa keluar dari rusun karena tidak mampu membayar biaya retribusi tersebut.
Permasalahan kedua, berdasarkan pengaduan yang disampaikan, akibat penggusuran PAUD Seruni Indah, terdapat 135 anak telah kehilangan haknya atas pendidikan.
"PAUD yang telah didirikan secara swadaya oleh masyarakat Kalijodo itu, ternyata tidak tergantikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Pengabaian hak anak untuk memperoleh pendidikan sungguh satu pelanggaran hak asasi manusia yang amat bertentangan dengan amanat konstitusi," ucapnya.
Masalah lainnya, warga Kalijido disebut belum menerima kompensasi pembayaran listrik dan air hingga hari ini sebagaimana yang telah dijanjikan. Pemprov DKI Jakarta telah menjanjikan bahwa warga akan menerima dana pembayaran listrik dan air sebesar Rp3 juta per KK. Akan tetapi, hingga hari ini janji Pemprov DKI Jakarta tersebut tidak juga dipenuhi.
Masyarakat juga mengeluhkan, akibat penertiban tersebut hilangnya mata pencaharian warga akibat penggusuran situs budaya yaitu Pabrik Bihun dan Pabrik Besi Baut yang telah berusia ratusan tahun. Selain sebagai sumber pendapatan warga, bangunan ini juga menyimpan nilai historis.
"Kompensasi dari penghancuran sejumlah rumah ibadah dan alokasi dana CSR oleh swasta juga diklaim belum dirasakan warga," katanya.
"Atas laporan itu, Komnas HAM menyesalkan apa yang dialami masyarakat. Penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta merupakan kebijakan yang tergesa-gesa tanpa lebih jauh melihat dan mengantisipasi dampak yang dapat ditimbulkan," ujar Hafid.
Oleh karena itu, katanya, Komnas HAM merasa sangat menyesalkan kondisi-kondisi yang harus dihadapi para warga korban penggusuran kawasan Kalijodo ini. Menurutnya, mereka telah mengalami pemiskinan oleh negara dalam kasus ini yaitu Pemprov DKI Jakarta.
"Fakta ini semakin mempertegas bahwa kebijakan penggusuran yang diberlakukan oleh Pemprov DKI Jakarta merupakan kebijakan yang tergesa-gesa tanpa lebih jauh melihat dan mengantisipasi dampak yang dapat ditimbulkan," ujarnya.
Komnas HAM pun mendesak agar Pemprov DKI Jakarta secara sungguh-sungguh memberlakukan kebijakan 1-2-3, atau hunian berimbang. Yang mewajibkan semua pengembang pembangunan perumahan dan pengelolaan tata ruang, termasuk penyediaan rumah susun (apartemen) dengan formula setiap satu rumah mewah bagi keluarga mampu terdapat dua bangunan rumah untuk kelas menengah dan tiga rumah bagi keluarga tidak mampu.
"Dengan kebijakan itu, akan terwujud kohesi sosial yang kukuh dalam kehidupan sehari-hari," katanya.
Â