Pengamat: Pendatang Baru Tak Pantas Disebut Virus
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Sejak lama Jakarta sudah menjadi daya tarik masyarakat pedesaan untuk mencari rezeki. Hasilnya adalah urbanisasi sehingga membuat Jakarta berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri, kini memiliki populasi 9.988.495 jiwa.
"Urbanisasi keniscayaan di kota besar," ucap pengamat sosial Maman Suherman dalam perbincangan dengan tvOne, Senin, 11 Juli 2016.
Sebagai ibu kota, Jakarta memang pantas menjadi magnet warga pedesaan. tapi menurut Maman, hal utama yang mendorong masyarakat pedesaan pergi ke Jakarta adalah melihat kesuksesan kerabat atau teman saat mereka kembali ke kampung halaman.
Situasi ini ikut mendorong terjadinya urbanisasi dalam tradisi mudik, di mana pemudik yang hendak kembali ke Jakarta akan turut membawa anggota keluarga atau tetangganya di desa.
"Ketika mereka pulang, mereka membawa mimpi orang daerah. Mereka (warga desa) enggak mau tahu motor yang dibawa itu hasil kredit," jelasnya.
Kondisi ini membuat Jakarta kini didominasi pekerja sektor informal, yang seringkali tak memiliki pengalaman kerja sebelumnya. Bahkan tak jarang, juga minim keahlian. "70 Persen pendatang itu tidak lulus SMA, mereka sektor informal, mereka ini yang mendominasi Jakarta sekarang," ungkap Maman.
Meski menimbulkan masalah kepadatan penduduk, seperti umumnya masalah di kota besar, para pendatang itu ikut serta membangun Jakarta menjadi salah satu kota metropolitan di dunia. "Kita enggak boleh menyebut mereka virus, Jakarta juga dibangun oleh mereka," ungkapnya.
Urbanisasi ini wajar karena sejak lama Jakarta sudah dikonsepkan menjadi pusat peradaban di Indonesia. Kata Maman, pada Orde Baru pemerintah memusatkan semua aktivitas politik, sosial, dan ekonomi di Jakarta, sebagai cerminan kondisi secara nasional.
"Zaman Orde Baru kan begitu, untuk mengawasi Indonesia cukup mengawasi Jakarta," katanya.
Hal ini berimbas membuat Jakarta seperti sekarang, menjadi pusat pemerintahan, ekonomi dan hiburan.