Cerita Djarot Bersaing dengan HMI untuk Dapatkan Beasiswa
- VIVA.co.id/M. Ali. Wafa
VIVA.co.id - Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat memiliki cerita tersendiri saat menjadi mahasiswa di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Ketika itu, ada persaingan antar organisasi ekstra kampus, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Djarot yang pada SMA sudah aktif berorganisasi menjadi incaran para seniornya yang menjadi kader di dua organisasi tersebut. Namun, karena alasan tantangan, ia memilih GMNI.
"Kalau HMI di fakultas sudah besar, sudah nguasain semua, kemudian kalau bisa berkembang, untuk tantangan saya milih GMNI," kata Djarot kepada VIVA.co.id, belum lama ini.
Djarot mengakui, waktu itu, GMNI belum ada di fakultas. Kalau pun ada, kondisinya mati.
Praktis, sejak 81 ia aktif membangun GMNI, mengajak orang, mendekati orang, meyakinkan orang, tentang pentingnya kita belajar politik, ideologi. Buku-buku Bung Karno habis dia lahap.
"Saya SMP itu sudah baca-baca buku tentang Soekarno, hampir tiap hari," katanya lagi.
Djarot bukan berasal dari keluarga kaya. Kondisi itu pun menghadirkan tantangan tersendiri bagi dia. Bagaimana tetap bisa membangun organisasi dan kuliah dengan kondisi seperti itu.
Ia kemudian mencari cara. Jawabannya yakni beasiswa. Namun, ini juga tidak mudah. Sebab, di luar sana, banyak pula pesaingnya khususnya dari para aktivis HMI.
"Ada teman-teman bilang, kalau kamu masuk GMNI sulit dapat beasiswa karena dikuasai HMI," tutur Djarot.
Tapi ia tak menyerah. Ia tetap ngotot mendapatkannya.
"Saya bilang saya akan tunjukkan bisa dapat beasiswa," tekadnya.
Jika secara struktur dan jaringan tidak mendukung, Djarot kembali berpikir untuk mencari jalan lain. Akhirnya ia memutuskan untuk mendapatkan beasiswa melalui jalur nilai akademik.
"Saya ambil beasiwa yang nilainya paling tinggi. Beasiswa peningkatan prestasi akademik. Satu fakultas cuma lima orang yang dapat. Yang HMI itu beasiswa Supersemar," lanjut Djarot.
Djarot cukup bangga dengan pengalaman tersebut. Karena, tak semua orang bisa mendapatkannya. Kuliah sekaligus tekadnya membangun organisasi pun lancar.
"Dari lima ini, lakinya cuma aku doank loh, sisanya perempuan. Meskipun saya aktivis, kaya begitu, yang lain tertarik, ikut Djarot saja, berkembanglah GMNI di fakultas saya waktu itu. Ini sebagai tempat pelatihan sampai lulus," kenangnya.