Kubu Jessica Minta Hakim Batalkan Dakwaan
- VIVA.co.id/M. Ali. Wafa
VIVA.co.id – Kuasa hukum terdakwa Jessica Kumala Wongso, menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya, menyalahi ketentuan pasal 143 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengenai syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dalam surat dakwaan.
Dalam dakwaan, JPU menuding Jessica telah membunuh korban Wayan Mirna Salihin secara terencana sehingga melakukan perbuatan pidana sesuai Pasal 340 KUHP dengan ancaman hukuman mati, seumur hidup, atau maskimal 20 tahun penjara.
Menurut Koordinator Tim Kuasa Hukum Jessica, Otto Hasibuan, dakwaan yang disusun JPU tidak jelas, cermat, lengkap dan kabur. Hal ini karena JPU tidak menguraikan rangkaian peristiwa pembunuhan yang dilakukan Jessica dalam dakwaan itu.
"Jessica didakwa melakukan pembunuhan berencana. Ada tiga tahap atau setidaknya dua tahap dari pembunuhan terencana. Tahap pertama persiapan, tahap kedua permulaan persiapan, dan tahap ketiga pelaksanaan," ungkap Otto saat membacakan nota eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 15 Juni 2016.
Namun di dakwaan, kata Otto, JPU langsung menyebutkan peristiwa di lokasi tempat kejadian perkara, tanpa menceritakan rangkaian proses persiapan tindak pidana itu dilakukan.
"Sekonyong-konyong dan tiba-tiba, penuntut umum mengatakan Jessica memasukkan natrium sianida. Tanpa menjelaskan bagaimana Jessica mendapatkan itu, dari mana mendapatkan dan dimana menyimpan sianida tersebut," jelasnya.
Selain itu, dalam dakwaan pembunuhan, mestinya juga menyebutkan alat yang digunakan terdakwa untuk menghilangkan nyawa seseorang. Kata Otto, JPU menyebut zat kimia natrium sianida sebagai alat pembunuhnya, tapi tidak secara jelas menyebutkan berapa banyak dosis yang diminum korban hingga dia tewas.
JPU hanya menyebutkan jumlah sianida dalam kandungan kopi sebesar 298 miligram. Hal ini dinilai tidak menjelaskan penyebab kematian Mirna.
"Jika ingin tahu berapa banyak yang diminum maka harus ditemukan yang ada di tubuh Mirna," terangnya.
Keberatan lainnya, menyangkut pihak yang mengajak untuk bertemu di kafe itu. JPU menyebut Jessica sebagai pihak yang mengatur pertemuan di Kafe Olivier, Grand Indonesia. Tapi menurut kuasa hukum, lokasi pertemuan ditentukan oleh Hani, rekan Jessica dan Mirna.
Kemudian mengenai upaya Jessica untuk menutupi gerak-geriknya dengan tas belanja, Otto bilang, kliennya baru sekali itu datang ke Kafe Olivier sehingga tidak tahu mengenai situasi di kafe tersebut. Termasuk soal posisi penempatan CCTV.
"Tiga paper bag itu disusun sedemikian rupa untuk tujuan menutupi. Padahal Jessica tidak tahu ada CCTV karena baru pertama kali ke sana."
Tim kuasa hukum pun memohon majelis hakim dalam putusan sela, menyatakan menerima eksepsi terdakwa dan menolak berkas dakwaan JPU untuk dijadikan dasar digelarnya sidang terhadap Jessica.Â
"Menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum, atau setidaknya tidak dapat diterima. Memutuskan perkara ini tidak dapat dilanjutkan," harap Otto pada kesimpulan eksepsi.
Selain itu, kuasa hukum juga meminta hakim melepaskan Jessica dari tahanan, memulihkan hak dan martabat terdakwa, serta menjatuhkan biaya persidangan pada negara.