Diskresi Ahok Soal Kontribusi Reklamasi, Bisakah Dipidana?
- Danar Dono
VIVA.co.id – Diskresi yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait permintaan kontribusi tambahan dari pengembang reklamasi menuai kontroversi. Ahok mengakui telah menggunakan hak diskresinya terkait reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Mantan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang juga Penyusun Undang-undang Administrasi Pemerintahan, Eko Prasojo, menilai secara garis besar kebijakan yang dilakukan Ahok dengan para pengembang reklamasi ini adalah diskresi. Namun ia sendiri belum melakukan pendalaman dalam hal ini.
"Tadi kita dengar, pada prinsipnya ini juga mengandung diskresi. Tapi saya masih mendalami. Kita tidak bisa pukul rata, harus case by case," kata Eko ketika ditemui di kantor Lembaga Administrasi Negara, Jakarta Pusat, Kamis 9 Juni 2016.
Eko menjelaskan diskresi sebenarnya merupakan perbuatan lazim di dalam keputusan administrasi pemerintahan. Sementara diskresi bisa dipandang tidak lazim karena masih memandang kesalahan kebijakan sebagai pelanggaran pidana. "Proses penegakan hukumnya masih belum normal, orang masih terkaget-kaget," ujar Eko.
Untuk menghindari kebingungan itu, Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia itu menyarankan agar kepala daerah yang ingin memakai hak diskresinya agar berkonsultasi terlebih dulu dengan pembuat UU yang mengatur diskresi.
"Sehingga dia clear. Kalau niatnya baik. Tapi kan banyak diskresi yang unsurnya tidak baik," kata Eko.
Di sisi lain, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengakui diskresi dan pemberantasan korupsi bersifat paradoks. Pemberantasan korupsi dinilai bisa menghambat diskresi, walaupun diskresi itu bertujuan untuk pembangunan.
"Sehingga (pejabat) takut munculkan kerugian dan dianggap menimbulkan pelanggaran hukum. Jadinya semua safety player dari sisi hukum," kata Refly di kantor Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, Kamis 9 Juni 2016.
Namum dalam pemaparannya, Refly mengatakan diskresi harus memiliki sejumlah persyaratan. Hal itu katanya demi menghindari dampak keresahan di masyarakat.
"Pejabat yang menggunakan diskresi yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi dan dampak administrasi yang berpotensi mengubah pembebanan keuangan negara," ujar Refly.
Mengenai penggunaan hak diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran, pejabat disebut wajib memperoleh persetujuan dari pejabat di atasnya, sesuai dengan aturan yang berlaku. "Pejabat yang menggunakan diskresi wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada atasan pejabat," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, Ahok mengklaim diskresi perjanjian kerja sama (PKS) dengan empat pengembang proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta menguntungkan banyak pihak. Dalam kerja sama itu, pengembang diwajibkan memberikan kontribusi tambahan sebesar 15 persen.
Nilai kontribusi tambahan itu nantinya digunakan Pemerintah Provinsi DKI untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur DKI. Diantaranya adalah untuk pembangunan rumah susun Daan Mogot dan Muara Besar.
Konon, KPK tengah dugaan terjadinya barter antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dengan pengembang reklamasi. Dugaan barter itu terkait dana kontribusi tambahan yang harus dibayarkan oleh perusahaan pengembang reklamasi yang diduga dibayar dimuka oleh pengembang.