DKI Jakarta Raih Opini Wajar dengan Pengecualian oleh BPK
- ANTARA/Hafidz Mubarak A
VIVA.co.id – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali menerima opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas laporan keuangan tahunannya.
Anggota V Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Moermahadi Soerja Djanegara membacakan opini yang merupakan hasil audit BPK terhadap laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI tahun 2015.
"Opini laporan keuangan atas pemeriksaan terhadap laporan keuangan tahun 2015 ini, masih sama dengan opini yang diberikan atas laporan keuangan tahun lalu, yaitu Wajar Dengan Pengecualian," ujar Moermahadi dalam Rapat Paripurna Istimewa dalam rangka penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) DKI tahun 2015.
Rapat diselenggarakan di Gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu, 1 Juni 2016. Rapat, dihadiri Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, dan kelima pimpinan DPRD DKI Jakarta.
Ada tiga pengecualian yang disampaikan. BPK menemukan data yang berbeda terkait penerimaan kas atas Pajak Bumi dan Bangunan-Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2). Hal itu diperkirakan terjadi karena pengendalian dan pengelolaan pendapatan dan piutang yang memadai.
"Perbedaan tersebut belum dapat kami telusuri," ujar Moermahadi.
Hal yang serupa terjadi juga pada tagihan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Moermahadi mengatakan, penagihan tidak dilakukan berdasarkan nilai jual kendaraan bermotor pada tahun turunan pajak.
"Hal tersebut menyebabkan pokok dan sanksi denda PKB terlalu rendah," ujar Moermahadi.
Pengecualian kedua adalah tidak tercatatnya piutang yang berasal dari konversi kewajiban perusahaan pengembang membangun rumah susun untuk Pemerintah Provinsi DKI, menjadi pendapatan pemerintah.
Hal yang sama juga terjadi pada pelaksanaan kewajiban pemilik Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) menyerahkan aset berupa fasilitas sosial dan fasilitas umum pada saat hak tagih jatuh tempo.
"Kebijakan pemberian hak izin belum mengatur pengukuran nilai sehingga menyulitkan penagihan," ujar Moermahadi.
Terakhir, BPK mengecualikan tidak digunakannya sistem informasi akuntansi dalam pengelolaan aset tetap, termasuk aset tanah dalam sengketa. Hal itu menyebabkan pencatatan akte menjadi dinilai tidak wajar. "Inventaris aset belum selesai dengan data yang belum informatif dan valid," ujar Moermahadi.