Ahok Sebut 'Uang' Pengembang Reklamasi Bukan Gratifikasi
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, aset senilai miliaran rupiah milik pemerintah sebagai realisasi pemberian kontribusi tambahan oleh pengembang pemilik konsesi reklamasi, bukan bentuk gratifikasi.
Gratifikasi adalah pemberian yang dilakukan pihak tertentu sebagai ungkapan terima kasih, karena pihak lain telah melakukan sesuatu yang menguntungkan pihak pertama.
Dalam hal pelaksanaan kewajiban kontribusi tambahan pengembang reklamasi, pengembang melakukan pembangunan, karena itu merupakan syarat dari pemerintah agar izin reklamasi mereka diperpanjang.
Mereka tidak melakukan pembangunan, karena berterima kasih kepada pemerintah yang mengeluarkan izin.
"Kami enggak pingin ada pulau jadi (selesai direklamasi), tetapi tidak ada yang membangun tanah kami," ujar Ahok, sapaan akrab Basuki, di Balai Kota DKI, Jumat 20 Mei 2016.
Ahok yakin, ketiadaan dasar hukum pemberian kontribusi tambahan juga tidak bisa membuat aset yang diterima menjadi gratifikasi.
Dalam hal ini, Ahok menggunakan hak diskresi seperti diatur Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 22 ayat (2) huruf b mengatur pejabat pemerintahan yang berwenang boleh melakukan diskresi dengan tujuan mengisi kekosongan hukum. "Setiap pejabat di Indonesia punya hak diskresi," ujar Ahok.
Ahok menyamakan tindakannya dengan polisi lalu lintas yang hingga saat ini terkadang memperbolehkan pengguna jalan masuk ke jalur busway, yang seharusnya steril. Polisi hanya melakukan hal tersebut dalam keadaan tertentu, seperti saat kondisi lalu lintas sedemikian parah. Tindakan polisi melakukan itu, juga semata-mata agar kemacetan tidak bertambah.
"Dia (polisi) baru melanggar, kalau dia masukin (pengendara masuk ke jalur busway), dan dia minta duit. Itu enggak boleh (karena menjadi gratifikasi)," ujar Ahok.
Ahok mengatakan, hal yang sama, juga terjadi saat pemerintah pusat melakukan penghapusan Peraturan Menteri Dalam Negeri terkait kompensasi peningkatan Koefisien Luas Bangunan (KLB). Dia memutuskan menggunakan hak diskresi, kemudian mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Nomor 175 Tahun 2015.
"Karena enak saja, orang naikin KLB tanpa kontribusi," ujar Ahok.
Pergub itu memberi kewenangan kepada pemerintah untuk meminta kompensasi dalam bentuk aset yang kemudian dinilai melalui metode appraisal (penaksiran) bagi pengembang yang mengajukan peningkatan KLB.
Diimplementasikannya Pergub, memberi kota Jakarta Simpang Susun Semanggi yang direncanakan selesai terbangun sebelum Asian Games 2018.
Meski pembangunannya menggunakan dasar hukum yang merupakan bentuk diskresi, Simpang Susun, tak bisa dianggap sebagai gratifikasi yang kemudian dipermasalahkan keberadaannya.
"Yang salah itu kalau saya bilang, 'eh bos (perusahaan pengembang), dulu kan kamu bayar nih, karena Mendagri menghapus (aturan tentang kompensasi KLB), kamu tetep bayar ya, tapi di bawah tangan ke saya'. Nah, kalau itu, bukan bentuk diskresi, tetapi gratifikasi dan pemerasan," ujar Ahok. (asp)