Ahok: Yang Patut Dicurigai Barter Bos Podomoro dan Sanusi
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak
VIVA.co.id – Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, sebuah upaya penggiringan opini, tengah terjadi untuk membuat dirinya seolah-olah sebagai orang yang bersalah dalam proses penyusunan regulasi terkait reklamasi.
Penggiringan opini dilakukan dengan memanfaatkan media yang memantau perkembangan kelanjutan proyek reklamasi di Balai Kota, dan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana penyidik, menahan Mohamad Sanusi dan Ariesman Widjaja yang diduga, berkongkalikong untuk mempengaruhi ketentuan reklamasi.
"Saya lihat ada pergeseran yang menarik (dengan pemberitaan terkait reklamasi)," ujar Ahok, sapaan akrab Basuki, di Balai Kota DKI, Jum'at, 20 Mei 2016.
Alasan KPK meringkus Sanusi karena Ariesman, diduga memberi sejumlah uang ke Sanusi, yang merupakan mantan ketua komisi D DPRD DKI dengan tujuan, agar kewajiban perusahaannya untuk memberi kontribusi tambahan berkurang.
Ariesman ingin perusahaannya, Agung Podomoro, tidak membayar sebesar 15 persen dikali nilai jual area komersil Pulau G, sebagai kompensasi menguruk pulau di Teluk Jakarta.
"KPK ada bukti mengatakan, jelas (naskah Raperda RTRKS Pantura) yang disiapkan Balegda itu, (kontribusi tambahan) 15 persen hilang. Persis yang diajukan Taufik (Ketua Balegda Mohamad Taufik) kepada kami," ujar Ahok.
Namun, alih-alih fokus kepada hal itu, media belakangan malah menduga adanya kongkalikong antara dirinya dengan perusahaan pengembang, untuk menurunkan besaran kontribusi tambahan. Sebuah media menyebut kongkalikong itu dengan istilah 'barter'.
Ahok disebut bersedia menurunkan kontribusi tambahan asal perusahaan pengembang bersedia menggelontorkan uang untuk membangun banyak hal di Jakarta.
"Sekarang ada enggak berita-berita (yang mendalami) soal Sanusi dan Ariesman? Soal Balegda menghilangkan pasal? Enggak. Justru (pemberitaan tentang) arah barternya ke saya," ujar Ahok.
Ahok kembali menegaskan banyaknya perusahaan swasta dilibatkan melakukan pembangunan di Jakarta, bukan bentuk barter dengan pengurangan kewajiban memberi kontribusi tambahan.
Pemerintah justru menggandakan kompensasi perusahaan pengembang berkali-kali. Ahok merasa bentuk kompensasi dengan sekadar menyediakan lima persen lahan untuk pemerintah dan kewajiban membangun sarana dan prasarana umum di atas pulau tidak sepadan dengan potensi keuntungan komersil untuk perusahaan pengembang dari adanya pulau.
Maka dari itu, kontribusi tambahan mengatur perusahaan pengembang untuk melakukan pembangunan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan musibah banjir oleh pemerintah di daratan Jakarta.
Lagi pula, bila disebut sebagai barter, pemerintah tidak akan menggunakan metode penaksiran (appraisal), untuk menentukan nilai kewajiban kontribusi tambahan pengembang melakukan pembangunan. Pemerintah akan sekadar menerima aset yang dibangun.
Dalam hal pengenaan kewajiban kontribusi tambahan, pemerintah menaksir pelaksanaan kewajiban, seperti pembangunan rumah susun, secara appraisal. Hal itu akan membuat pemenuhan nilai kontribusi tambahan semakin sulit dituntaskan karena semakin lama kewajiban dikerjakan, akan semakin meningkat pula nilai kewajiban itu.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan di mana perusahaan pengembang melakukan pembangunan, akan semakin meningkat. Dengan demikian, nilai aset yang diselesaikan akan selalu berubah dari tahun ke tahun, belum tentu sesuai dengan nilai aset seperti dihitung dalam formula kontribusi tambahan.
"Ini bukan barter karena nilainya bukan langsung tuker, selesai (kewajiban). Kita gunakan NJOP (untuk menilai aset). Nilai kewajiban bertambah enggak? Bertambah. Kalau saya memang barter bertambah enggak? Enggak dong. Tapi justru arah (pemberitaan) barter ke saya. Yang dicurigai barter tuh lebih cocok mereka (Ariesman dan Sanusi), bukan saya," ujar Ahok.