KPK Telusuri Hubungan Bos Agung Sedayu dengan Staf Ahok
- ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
VIVA.co.id – Bos Agung Sedayu Group, Sugiyanto Kusuma alias Aguan, tercatat telah dua kali menjalani pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait kasus dugaan suap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Reklamasi di Teluk Jakarta.
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, menyebut, salah satu hal yang tengah ditelusuri dari pemeriksaan Aguan adalah, terkait komunikasinya dengan Staf Khusus Gubernur DKl Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang bernama Sunny Tanuwidjaja.
"Aguan hari ini diperiksa untuk kedua kalinya sebagai saksi MSN (Mohamad Sanusi). Aguan oleh penyidik ditanyakan seputar komunikasinya dengan Sunny," kata Yuyuk di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 19 April 2016.
Selain itu, Yuyuk menyebut bahwa Aguan dikonfirmasi mengenai kegiatannya terkait PT Kapuk Naga lndah (KNl) dan PT Muara Wisesa Samudera (MWS). PT KNl merupakan anak perusahaan Agung Sedayu, sementara PT MWS adalah anak perusahaan Agung Podomoro. Kedua perusahaan tersebut tercatat telah mengantongi izin pelaksanaan reklamasi.
"Yang sedang didalami penyidik apakah memang ada yang diketahui oleh Aguan, hubungan antara dengan perusahaan yang lain," ujar Yuyuk.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, tercatat ada beberapa pengembang yang menggarap proyek reklamasi pengembangan 17 pulau buatan di Teluk Jakarta. Termasuk di antaranya adalah PT Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan Agung Podomoro Land) serta PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu Group).
Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (PT APL), Ariesman Widjaja, beserta karyawannya, Triananda Prihantoro, terungkap tengah mencoba menyuap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi, hingga miliaran rupiah.
Suap diduga, diberikan terkait pembahasan Raperda tentang zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Jakarta 2015-2035, dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.
Dua Raperda tersebut, diketahui memuat aturan-aturan terkait proyek reklamasi dan menuai polemik dalam pembahasannya, hingga berkali-kali tertunda. Disinyalir pembahasannya tak berjalan lantaran terkait dengan aturan soal nilai tambahan kontribusi yang harus diberikan pengembang ke pemerintah sebesar 15 persen.
Diduga, hal tersebut yang menjadi alasan penyuapan dari bos Agung Podomoro kepada pihak DPRD DKl Jakarta. Namun, diduga terdapat pihak lain juga yang memberikan suap pada anggota dewan.
Saat ini, penyidik baru menetapkan 3 orang tersangka, yakni Ariesman, Triananda serta Sanusi. Namun, KPK masih menelusuri mengenai adanya keterlibatan pihak-pihak lain.
Sebagai pihak penerima suap, Sanusi disangka telah melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 Undang Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan Undang Undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor junto pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sementara diduga sebagai pihak pemberi, Ariesman dan Triananda diduga telah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 b atau pasal 13 Undang Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan Undang Undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.