Pengamat: Revisi UU Pilkada Jangan Didesain Jegal Ahok
- ANTARA/Reno Esnir
VIVA.co.id – Ketua Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Veri Junaidi menilai revisi undang-undang (UU) pemilihan kepala daerah (pilkada) harus dipikirkan untuk kepentingan jangka panjang.
Ia mengatakan, jangan karena persoalan politik jangka pendek, khususnya Pilkada Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengubah syarat dukungan calon perseorangan, atau sering disebut calon independen.
"Karena sekarang orang ribut-ribut Ahok (sapaan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama) mau maju. Mereka khawatir Ahok jadi gubernur lagi, ya sudah dijegal saja dengan cara merevisi UU. Menurut saya, ini bukan langkah yang baik untuk mendesain sebuah undang-undang," kata Veri dalam diskusi bertajuk “Calon Independen dan Revisi Undang-Undang Pilkada” di Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang (UU) Pemilu, Jakarta, Selasa 22 Maret 2016.
Menurut Veri, revisi UU Pilkada harus didesain untuk kepentingan jangka panjang. Revisi bukan dilakukan dalam konteks politik hari ini, apalagi hanya terfokus pada Jakarta.
Ia tak ingin tiap tahun selalu ada revisi UU Pilkada. Revisi yang terlalu sering dilakukan dikhawatirkan bukannya memperbaiki UU, tapi malah menjerumuskan ke hal yang tak baik.
"Siapa yang terpilih untuk DKI 1 itu persoalan lain. Karena, revisi ini bukan hanya untuk Jakarta, tapi untuk 101 daerah yang lain," kata Veri.
Sebelumnya, DPR mengusulkan dalam revisi UU Pilkada agar syarat dukungan calon perseorangan dinaikkan jadi 15-20 persen. Saat ini, syarat dukungan calon independen dalam UU Pilkada hanya 6,5-10 persen.
Isu menaikkan syarat dukungan calon independen ini menguat setelah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan akan mencalonkan diri kembali dalam pilkada 2017 melalui jalur perseorangan.
Ahok menyatakan ingin maju melalui jalur independen, lantaran khawatir ada mahar politik saat akan maju sebagai calon kepala daerah melalui jalur partai politik.