Polri Akui Kekurangan Tenaga Psikolog
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Dini hari tadi, Sabtu 12 Maret 2016, anggota kepolisian dari Satuan Brigade Mobil (Brimob) Datasemen D, Brigadir A (28) menembak mati istrinya, AN (26). Korban meninggal dunia, karena mendapatkan luka tembak di bagian kepala.
Hal ini pun menuai kritik dari Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S. Pane. Dia mengungkapkan adanya kelemahan dalam proses rekrutmen di Polri dalam 5 tahun terakhir, termasuk kurangnya tes psikologi terhadap anggota Polri.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Polisi Agus Rianto, mengakui adanya kekurangan tenaga psikolog di tubuh Polri.
"Kalau tenaga ahli di bidang itu sangat minim, tapi bukan alasan bagi kami untuk melakukan pembenahan internal. Dokter daerah kami libatkan, kami menyadari keterbatasan yang dimiliki sehingga melibatkan pihak lain," ujar Agus dalam perbincangan dengan tvOne, Sabtu 12 Maret 2016.
Hal ini menjadi alasan bagi Polri belum bisa melaksanakan proses tes psikologi setiap enam bulan sekali. "Paling tidak 6 bulan sekali kita upayakan, sekarang itu belum bisa. Setahun pun terbatas," ungkapnya.
Minimnya tenaga psikolog dan psikiater di Mabes Polri terjadi karena jarang ada orang dengan profesi tersebut, mau bekerja pada institusi Polri "Jarang ada yang mau, gajinya kecil," tutur Agus.
Meski begitu, dia membantah, kurangnya tenaga psikolog ini yang membuat banyak polisi menjadi stres. Menurutnya, dari semua kasus kekerasan yang melibatkan oknum polisi, tidak ada yang dilakukan karena stres terhadap beban pekerjaan. Umumnya, terjadi karena masalah pribadi.
"Anggota yang (stres) karena berhadapan dengan tugasnya secara langsung, itu belum pernah kita dengar. Permasalahan dengan pimpinannya beberapa kali ada kasus, tapi kalau pekerjaannya, dia stres saya belum dapati itu," tuturnya.
Untuk meminimalisasi terjadinya stres pada jajarannya, Polri meminta agar semua Polda, Polres dan Polsek menggelar acara pertemuan informal untuk membahas mengenai tantangan kerja di lapangan.
"Jadi forum diskusi selalu ada, pejabat di daerah tingkatkan coffee morning dengan bawahannya, di situlah waktunya diskusi masalah pekerjaan," kata Agus.
Lewat pertemuan informal dan santai itu, diharapkan jajaran dibawah bisa melampiaskan permasalahannya, sehingga saat bekerja tidak mudah terbawa emosi. Apalagi sebagai manusia, polisi juga tak luput dari beban stres. “Polisi kami juga manusia, punya keterbatasan emosional,” urainya.