Prostitusi Kalijodo Dulunya Berawal di Atas Perahu
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id – Kalijodo berada di Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Ia terletak tidak jauh dari BW Hotel di Grogo l dan berada di sepanjang sungai Ciliwung. Akses menuju daerah ini bisa ditempuh dengan menyusuri jalanTubagus Angke.
Nama Kalijodo di Kelurahan Angke, Jakarta Barat, sudah ada sebelum menjadi tempat lokalisasi pekerja seks komersil (PSK). Nama ini ternyata berhubungan dengan tradisi peh cun dalam budaya tionghoa.
Dalam tradisi China, peh cun adalah tradisi yang diselenggarakan setiap hari 100 penanggalan imlek. Salah satu tradisi dalam perayaan peh cun adalah pesta air. Pesta air itu diikuti oleh muda-mudi laki-laki dan perempuan yang sama-sama menaiki perahu melintasi kali Angke.
Pesta ini menarik para muda-muda yang ingin menyaksikan beragam keramaian, seperti barongsai dan pesta ngibing diiringi gambang keromong. Banyak Tionghoa kaya yang menjadi sponsornya.
Setiap perahu akan berisi tiga sampai empat laki-laki atau perempuan. Di perahu tersebut, si laki-laki akan melihat ke perahu yang berisi perempuan. Jika laki-laki senang dengan perempuan yang ada di perahu lainnya ia akan melempar kue yang bernama Tiong Cu Pia. Kue ini terbuat dari campuran terigu yang di dalamnya ada kacang hijau.
“Bagi perempuan yang ditaksir jika ia senang ia akan melemparkan kue sejenis ke arah laki-laki yang menyukainya. Dari sinilah kemudian kawasan ini berubah menjadi Kali Jodo karena menjadi kawasan untuk mencari jodoh,” ujar Yahya Andi Saputra, budayawan Betawi.
Berbeda dengan saat ini, di masa itu kali Angke masih jernih. Tradisi ini meski dilakukan oleh etnis Tionghoa, tetapi masyarakat umum tetap memadati kali Angke untuk melihat perayaan tersebut.
Tradisi peh cun dan imlek tidak lagi dirayakan sejak tahun 1958 setelah Wali Kota Jakarta Sudiro yang menjabat diera 1953-1960 mengeluarkan peraturan yang melarang perayaan hari besar Tionghoa.
Ca Bau Kan
Penulis novel senior, Remy Sylado, pernah membuat penelitian di Kalijodo. Penelitian dibuat khusus untuk novel berjudul Cau Bau Kan yang terbit tahun 2001. Pada bab II, Remy menuliskan bab khusus tentang Kalijodo.
Remy Silado dalam novelnya menceritakan bahwa Ca-bau-kan yang melahirkan istilah Kali Jodo.
Ca Bau Kan sendiri artinya perempuan. Tetapi mengalami penyempitan makna menjadi perempuan pribumi yang dikawini oleh Tionghoa dalam kedudukan yang tidak selalu memperdulikan hukum Hindia Belanda. Lalu menjadi Ca-bo untuk menyebut istilah pelacur.
Ia menuliskan bahwa kalijodo selama beberapa ratus tahun terdapat kebiasaan imigran Tionghoa menemukan jodoh. Kata jodoh artinya bukan untuk hidup bersama selamanya, tetap sekadar untuk berhibur diri sambil menikmati nyanyian klasik tionghoa, dinyanyikan para Ca-bau-kan.
Para tauke-tauke yang mengelola Ca-bau-kan akan memberi kostum model opera berbahan sutera dengan warna-warni menyolok disertai bordir-bordir yang menyilaukan mata. Mereka berada di perahu-perahu yang dipasang lampion tiongkok, bergerak pelan-pelan di kali itu.
Di perahu tadi, Ca-bau-kan menawarkan jasanya dengan menyanyikan lagu-lagu bersyair asmara dalam bahasa Cia-im. Ca-bau-kan ada yang perempuan Tionghoa totok, tetapi kebanyakan asli pribumi yang mahir menyanyikan lagu tionghoa. Padahal mereka tidak mengerti arti nyanyiannya.
Awalnya, kegiatan prostitusi tersebut dilakukan diatas perahu yang berlayar dari Kwitang ke Kalijodo, kemudian lambat-laun berubah menjadi rumah-rumah bordil.