Sosiolog: Bersihkan WC Hukuman Pantas Bagi Suporter Rusuh
- viva.co.id / Riki Ilham Rafles
VIVA.co.id - Bentrok antar suporter bola kerap terjadi di Indonesia. Tak hanya merusak, pelaku bahkan tak segan-segan menghabisi lawannya dengan cara keji. Ironisnya lagi, kebanyakan dari mereka yang terlibat dalam aksi anarki ini masih berusia remaja. Lalu apa faktor kasus itu kerap terulang?
Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati mengungkapkan, bentrokan antar suporter tidak hanya terjadi di Indonesia namun ada di mana-mana.
"Namun merespon kejadian kemarin, lihat pelakunya kebanyakan remaja, kenapa? Karena remaja banyak keleluasaan waktu sehingga bisa dimobilisasi secara luas. Waktu yang luas seperti tidak punya tanggungan, dan belum bisa bertanggungjawab itulah yang menjadikan remaja mudah direkrut jadi beringas," katanya pada VIVA.co.id, Senin 19 Oktober 2015.
Devie menjelaskan, sudah sejak lama peneliti barat pada tahun 1800-an bahkan, ketika ada kelompok remaja akan lebih mudah jadi kelompok brutal dan akan berpikir irasional karena kehilangan identitas individu.
"Penyebabnya, ketika identitas individu hilang dan menyatu jadi kelompok akan mudah terdorong meniru perilaku kelompoknya. Kemudian mengganggu ketertiban sosial. Hilangnya kognitif kesadaran pribadi akibat kelompok grup, membuat mentalitas individu hilang jadi mentalitas kelompok atau geng," ujarnya.
"Remaja yang memang karakternya masih mencari identitas merasa bahagia ketika berkelompok. Akan semakin brutal akan semakin menjadi ketika ada kesamaan identitas ditambah simbol-simbol tertentu yang akan mudah terpancing dalam emosi kelompok. Apalagi oknum pemimpinnya ngaco akan semakin mudah didoktrin. Kerumunan orang dewasa saja bisa terjebak dalam mentalitas kerumunan tadi, apalagi anak-anak (remaja)," kata Devie.
Bersihkan WC
Terkait kasus yang kompleks ini, Devie menilai hukuman yang pantas untuk para pelaku yang masih berusia remaja dan anak-anak bukanlah pidana, melainkan sansi sosial.
 "Sanksi kerja sosial menjadi cara untuk membuat jera dan memberikan pendidikan, misalnya bersihkan WC umum 3 bulan atau bersihkan jalan. Jika absen hukumannya didouble, tidak berupa penjara atau denda. Karena remaja, hukuman yang diterapkan harus mendidik. Mengembalikan apa yag mereka rusak dengan bekerja sosial. Jangan rusak masa depan anak dengan penjara, yang salah orang tuanya kenapa dibiarkan. Penjara akan merusak masa depan, belum lagi stigma negatif yang bakal melekat," ungkap Devie.
Lebih lanjut mantan humas UI ini menambahkan, salah satu solusi yang bisa diterapkan untuk meminimalisir permasalahan tadi ialah dengan cara memfilter atau menyeleksi usia perektrutan.
"Harus difilter perekrutannya, kalau masih bandel ada moratorium, misal tidak boleh nonton bola, jangan libatkan anak-anak dan remaja, dibawah 18 tahun. Ya tadi yang saya bilang, kenapa anak atau remaja mudah sekali terprovokasi karena mereka tidak ada kerjaan, tidak ada tanggungjawab, sehingga energi yang ada dan belum terkuras sangat memungkinkan disalurkan dengan hal negatif mengatasnamankan kelompok," katanya.