Menyingkap Tabir Islamisasi di Betawi
Rabu, 17 Juni 2015 - 23:40 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/ Dody Handoko
VIVA.co.id -
Apakah proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya baru terjadi sejak Falatihan, panglima Kerajaan Islam Demak, menaklukkan Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527? Pendapat ini dibantah oleh budayawan Betawi, Ridwan Saidi.
Untuk mengetahui sejak kapan penyebaran Islam di Jakarta, menurut dia, bisa dirunut dari berdirinya Pesantren Quro di Karawang pada tahun 1418. Syekh Quro, atau Syekh Hasanuddin, berasal dari Kamboja.
Mula-mula maksud kedatangannya ke Jawa untuk berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh urung meneruskan perjalanannya ke timur. Ia menikah dengan seorang gadis Karawang dan membangun pesantren di Quro.
"Makam Syekh Quro di Karawang sampai kini masih banyak diziarahi orang. Di kemudian hari, seorang santri pesantren itu, yakni Nyai Subang Larang, dipersunting Prabu Siliwangi. Dari perkawinan ini lahirlah Kian Santang yang kelak menjadi penyebar Islam. Banyak warga Betawi yang menjadi pengikutnya," kata Ridwan ketika ditemui di rumahnya kawasan Bintaro, Tangerang.
Pesantren Syekh Kuro mempunyai santri Nyai Subanglarang, salah seorang istri Prabu Siliwangi. Hal ini menunjukkan bahwa proses Islamisasi tidak hanya terjadi pada kalangan rakyat biasa, juga pada tingkat elite.
Menurut legenda, Sang Prabu Siliwangi menolak masuk Islam, ketika diimbau oleh putranya Kian Santang atau Pangeran Cakrabuana. Proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya di abad ke-14 sampai ke-16 tidak dapat dilakukan tanpa menyebut nama-nama besar seperti Kian Santang. Ia tanpa ragu-ragu mengikuti jejak ibunya, memeluk Islam.
Setelah terjadi proses Islamisasi, Prabu Siliwangi lalu ngahyang atau meng-hyang. Menurut Ridwan Saidi, dari sinilah muncul kata : 'parahyangan'. Tapi, menurutnya, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar.
"Apakah prabu menolak ajakan putranya masuk Islam, atau menerima ajakan itu secara diam-diam?" ujarnya.
Kian Santang, cukup berjasa dalam dakwahnya, termasuk di Jakarta dan sekitarnya. Karena itu, sekalipun dia berasal dari Sunda, tapi mendapat tempat di hati orang Betawi. Penguasa Pajajaran, ketika itu menyebut mereka yang masuk Islam sebagai kaum langgara. Berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya orang-orang yang telah berubah atau beralih kepercayaan.
Dan tempat salat mereka disebut langgar. Karena itu, orang Betawi masih menggunakan istilah langgar sebagai padanan dari mushola. Kaum langgara inilah yang disebut samanan. Seperti kita ketahui, di Jakarta Barat maupun Bekasi ada kampung bernama Semanan.
Salah seorang murid Kian Santang, yang juga menjadi penyebar Islam yang handal adalah Pangeran Papak, seorang adipati dari Tanjung Jaya yang kini lokasinya di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Ratunya adalah Kiranawati, yang dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Menurut cerita rakyat, bila Ratu Kiranawati bepergian dengan kereta kuda, ia dilepas dengan mengumandangkan azan.
Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh dato-dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawisesa, yang bertahta sejak 1521, yang dibantu para resi.
Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik - melalui peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itulah saat itu penyebar Islam umumnya memiliki 'ilmu' yang dinamakan
elmu penemu jampe pemake
. Dato-dato umumnya menganut tarekat. Karena itulah banyak resi yang akhirnya takluk dan masuk Islam. Ridwan mencontohkan resi Balung Tunggal, yang dimakamkan di Bale Kambang (Condet, Kramatjati, Jakarta Timur).
Prabu Surawisesa sendiri akhirnya masuk Islam dan menikah dengan Kiranawati. Kiranawati wafat tahun 1579, dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Sesudah masuk Islam, Surawisesa dikenal sebagai Sanghyang. Ia dimakamkan di Sodong, di luar kompleks Jatinegara Kaum.
Lalu terdapat tujuh wali Betawi. Antara lain, Pangeran Darmakumala dan Kumpi Datuk yang dimakamkan berdekatan, di tepi kali Ciliwung, dekat Kelapa Dua, Jakarta Timur. Kemudian Habib Sawangan, yang dimakamkan di depan Pesantren Al-Hamidiyah, Depok. Pangeran Papak, dimakamkan di Jl Perintis Kemerdekaan, Jakarta Timur. Wali lainnya, Ki Aling, tidak diketahui makamnya. Ketujuh 'wali Betawi' ini, menurutnya, hidup sebelum penyerbuan Fatahilah ke Sunda Kelapa.
Beberapa generasi setelah tujuh wali itu, terdapat Habib Husein Alaydrus yang dimakamkam di Luar Batang, tempat ia membangun masjid pada awal abad ke-18. Kong Jamirun dimakamkan di Marunda, Jakarta Utara. Datuk Biru, makamnya di Rawabangke, Jatinegara. Serta Habib Alqudsi dari Kampung Bandan, Jakarta Utara.
Di Mekkah, terdapat Sheikh Junaid Al-Betawi, yang berasal dari Kampung Pekojan, Jakarta Barat. Syekh Junaid, yang kumpi dari Habib Usman bin Yahya, adalah guru dari Syekh Nawawi Al-Bantani, yang mengarang ratusan kitab, tersebar di berbagai negara Islam. Habib Usman, sendiri adalah salah seorang guru dari Habib Ali Alhabsji, pendiri majelis taklim Kwitang, Jakarta Pusat.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik - melalui peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itulah saat itu penyebar Islam umumnya memiliki 'ilmu' yang dinamakan