Saiful Mujani: Hasil Pilkada Ini Sulit Diperkirakan
- Antara/ Rosa Panggabean
Mantan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) ini adalah satu-satunya orang yang bekerja di luar institusi akademik dan riset Amerika yang meraih penghargaan bergengsi Franklin L Burdette/Pi Sigma Alpha Award dari American Politican Science Association (APSA). Diberikan semenjak tahun 1964, sejumlah ahli politik ternama dunia pernah meraih penghargaan itu seperti Samuel Huntington, Sidney Tarrow, Michael Wallerstein dan Mansur Olson.
Penghargaan itu diterima 2 September 2010 di Washington D.C. Selain Saiful, yang juga menerima penghargaan ini adalah Dr William Liddle (Guru besar Ohio State University) dan Thomas B Pepinsky (Guru Besar Cornell Universty).
Penghargaan ini diberikan kepada paper terbaik yang dipresentasikan pada pertemuan tahunan APSA. Saiful mempresentasikan makalah 64 halaman berjudul; Testing Islam’s Political Advantage: Evidence from Indonesia. “Saya berharap politik Indonesia kian penting untuk studi para peneliti,” kata Saiful.
Politik Indonesia memang kian menarik sesudah reformasi bergulir. Partai politik berjamuran – banyak juga yang gugur dengan sendirinya – publik kian bergairah,dan bertumbuh pula sejumlah lembaga survei.
Lahir di Serang 8 Agustus 1962, Saiful membenamkan diri di bangku kuliah pada studi politik. Dia menuntaskan S2 Ohio State University tahun 1998, dan S-3 diraih tahun 2003 dengan disertasi terbaik dalam bidang ilmu politik di universitas tersebut.
Pulang ke Indonesia, bersama sejumlah kawan lulusan Ohio-State, dia mendirikan Lembaga Survei Indonesia (LSI), lembaga yang menjadi rujukan sejumlah politisi dan partai politik dalam mengukur pendapat publik. Juga rujukan publik untuk melihat tren politik. Selain di LSI, Saiful Mujani kemudian mendirikan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Dibesut akhir tahun 2011, lembaga baru itu juga memusatkan diri pada survei politik.
Hari ini, Kamis 20 September 2012, warga DKI Jakarta akan berduyun-duyun ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) mengikuti pemilihan gubernur tahap kedua. Sejumlah lembaga survei akan mengumumkan hasil quick count, segera sesudah perhitungan dimulai di TPS.
Bagaimana cara kerja lembaga survei ini, bagaimana proses pendanaan mereka, bagaimana etikanya, dan mengapa hasil survei hampir semua lembaga pada putaran pertama Pemilukada DKI berbeda dengan hasil quick count dan hasil resmi. VIVAnews.com mewawancarai Saiful Mujani guna menggali masalah ini. Berikut petikannya.
Hampir semua hasil survei sebelum Pilkada putaran pertama berbeda dengan hasil quick count dan hasil Pilkada. Apa penjelasan yang masuk akal dari perbedaan itu?
Saya tahu persis teman-teman yang melakukan survei itu. Dulu mereka itu adalah yunior saya. Saya tahu kemampuan mereka, tahu bahwa mereka sangat menguasai teknis survei. Karena itu saya percaya bahwa survei yang mereka lakukan sudah benar. Surveinya sendiri tidak salah.
Lalu mengapa hasilnya berbeda?
Yang terjadi adalah perubahan sikap pemilih.
Bagaimana membuktikan bahwa perbedaan itu terjadi karena perubahan sikap pemilih?
Buktinya adalah bahwa pada hari pemilihan, kami melakukan exit poll. Di mana saat pemilih keluar dari Tempat Pemungutan Suara (TPS), kami tanya dia pilih siapa? Hasilnya kurang lebih sama dengan hasil quick count. Dan hasil quick count kurang lebih sama dengan dengan hasil yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Artinya, meski metodenya sama dan yang melakukan survei, exit poll, dan quick count juga sama, survei sebelum hari H Pilkada dan exit poll pada hari H itu hasilnya beda karena dilakukan pada waktu yang berbeda. Ini bukti bahwa bukan survei yang salah tapi terjadi perubahan sikap pemilih. Bukan survei sebelum Pilkada itu meleset tapi sikap pemilih setelah survei itu hingga hari H Pilkada terjadi perubahan.
Secara teoritis, apa yang menyebabkan hasil survei berbeda dengan hasil saat pemilihan?
Ada dua kemungkinan. Pertama, surveinya salah. Salah dalam memotret sikap pemilih saat survei dilakukan. Kedua, terjadinya perubahan sikap para pemilih, saat survei dilakukan dengan sikap saat pemilihan berlangsung. Ingat, survei dilakukan 1 hingga 2 minggu sebelum pencoblosan.
Mari kita lihat, mana dari dua kemungkinan itu yang terjadi saat putaran pertama itu. Pertama surveinya salah. Kalau surveinya itu dilakukan pada hari pemilihan berlangsung dan hasilnya beda dengan hasil Quick Count atau hasil KPU, maka surveinya salah. Kalau hasil exit poll dan hasil Quick Count berbeda secara signifikan maka exit poll itu salah, yang berarti kemungkinan survei juga salah karena metode dan teknik exit poll itu sama dengan survei sebelum hari H.
Sumber kesalahan itu apa saja?
Bisa saja metodologi. Cara memilih respondennya tidak benar. Bisa saja metode wawancaranya tidak benar. Atau kedua-duanya benar tapi keliru membaca laporan. Membaca keliru karena dua hal. Pertama karena tidak sengaja, artinya yang membaca laporan itu tidak kompeten. Yang kedua karena sengaja.
Karena sengaja?
Iya. Dan kalau betul karena ada unsur kesenggajaan, maka mungkin saja seperti yang ditulis media massa bahwa survei itu pesanan. Tapi saya percaya kesalahan sengaja ini tidak terjadi karena siapapun pemesannya hasil survei-survei itu kurang lebih sama, yakni Foke unggul atas Jokowi. Survei tim Jokowi maupun Foke hasilnya kurang lebih sama.
Mari kita lihat apa yang terjadi dengan survei-survei sebelum putaran pertama itu. Survei dilakukan dua minggu sebelum pemilihan. Jadi, yang paling mungkin adalah perubahan sikap antara saat disurvei dan saat pemilihan. Ditanya saat survei saya pilih Jokowi, tapi setelah itu saya berubah pikiran, misalnya pilih Faisal Basri. Dan ini bisa dan biasa saja terjadi.
Kalau di Amerika Serikat, survei itu dilakukan tiap hari, sampai hari H. Tidak ada larangan. Karena surveinya dilakukan hingga hari terakhir, maka dinamika pemilih terekam terus. Di Indonesia dan juga Jakarta frekwensi survei seperti ini belum bisa karena setiap survei dilakukan dengan wawancara tatap muka. Ini butuh waktu.
Di Amerika cukup lewat telpon karena pemilih pada umumnya punya telpon fixed line. Warga kita umumnya tidak punya sarana ini. Kalaupun sudah besar pengguna HP tapi admisitrasinya belum rapi dan belum terbuka untuk diakses umum. Maka survei dengan telpon akan menjadi masalah karena bisa kurang mencerminkan populasi pemilih.
Warga yang tak punya telpon tidak diberi kesempatan untuk menjadi responden. Itulah sebabnya kita belum bisa memonitor pergerakan pemilih dari hari ke hari hingga hari H. Ketika terjadi perubahan sikap pemilih sebelum pergi ke kotak suara misalnya, jelas perubahan ini tak terrekam.
Ada yang menduga bahwa survei itu pesanan.
Yang melakukan survei dalam putaran pertama itu dilakukan banyak lembaga. Termasuk lembaga yang saya pimpin. Meski saya tidak mempublikasikan hasilnya. Tapi secara umum hasilnya sama, bahwa Foke unggul atas Jokowi meski tidak di atas 50 persen. Jadi secara umum, semua lembaga yang melakukan survei, menemukan hasil yang sama meskipun sponsornya bertentangan. Ada yang dibayar tim Foke, ada yang dibayar tim Jokowi, dll.
Jika perbedaan itu terjadi karena perubahan sikap para pemilih, apa yang menyebabkan mereka berubah?
Ada banyak sebab mengapa keputusan politik pemilih berubah. Pertama, Pilkada ini berlangsung di Jakarta. Di mana mobilitas pemilih sangat tinggi dan akses mereka terhadap informasi, terutama new media juga sangat tinggi. Jadi mobiliasi pemilih oleh tim bisa dilakukan dengan banyak cara. Kedua, saat kampanye, mungkin Fauzi Bowo kurang maksimal. Tidak mengunakan semua kesempatan untuk tampil berkampanye.
Sementara Jokowi tampil di semua kesempatan dan impresif. Maka terjadi ketimpangan mobilisasi. Ketiga, dari wawancara dengan tim Fauzi Bowo kita mengetahui bahwa para saksi diserahkan kepada partai pendukung. Dan hampir 50 persen ditenggarai tidak ada di lapangan. Ini adalah indikasi yang kuat bahwa tim Fauzi Bowo kurang solid.
Mengapa para pemilih kota seperti Jakarta itu mudah berubah?
Warga Jakarta itu umumnya berpendidikan SLTA ke atas. Segmen kelas menengahnya besar. Mereka sangat aware dengan informasi, mengikuti perkembangan politik dengan cepat. Nah informasi itu umumnya dari media massa, terutama televisi. Dan dalam media massa, Fauzi Bowo cenderung kalah. Media cenderung ke Jokowi.
Dan salah satu hal yang boleh disebut sebagai kecerdasan tim Jokowi adalah simbol baju kotak-kotak itu. Mereka masih bisa memakai baju kotak-kota itu hingga di kotak suara karena memang tidak melanggar undang-undang. Menurut saya, baju kotak-kotak itu adalah gagasan yang cerdas, dan membuat kampanye terus jalan hingga hari H dan sampai waktu pencoblosan berlangsung.
Soal hasil survey dan hasil Pilkada yang berbeda itu, apakah pernah terjadi juga di kota lain. Sebab karateristik warga kota kan sama?
Kasus yang terjadi di Jakarta itu memang banyak terjadi di daerah lain. Misalnya di kota Kendari beberapa tahun yang lalu, atau di Kota Semarang dua tahun yang lalu. Atau di Kota Tangerang Selatan tahun lalu. Dalam beberapa survey seorang kandidat menempati urutan pertama, tapi dalam hasil pemilihan justru yang nomor satu di survei tidak nomor satu di hasil Pilkada.
Atau di Pilkada Kota Tengerang Selatan, Airin yang dalam survei beberapa waktu sebelum hari H unggul jauh dari lawannya, menjadi tersaingi di hari H. Jadi perubahan pemilih itu memang sudah umum terjadi, terutama di daerah-daerah yang para pemilihnya mudah menjangkau informasi, dan mudah dijangkau untuk dimobilisasi. Itu biasa di perkotaan.
Apakah berarti kalau di daerah yang bukan perkotaan perubahan sikap pemilih itu sedikit terjadi?
Secara umum perubahan sikap itu terjadi para pemilih daerah perkotaan. Pada kasus yang sebagian besar pemilihnya adalah orang-orang di pedesaan, perubahan sikap itu tidak signifikan. Lihatlah pemilihan umum nasional. Pada pemilihan umum tahun 2004—empat bulan sebelum hari pemilihan – survei yang saya lakukan sudah menemukan bahwa Golkar akan menjadi nomor satu. Hasilnya sama kan?
Lalu pada pemilihan tahun 2009. Kami sudah menemukan dalam survei bahwa Partai Demokrat akan menempati nomor pertama enam bulan sebelum hari pemilihan. Orang-orang di Partai Demokrat sendiri saat itu tidak percaya. Tapi hasilnya kemudian sama dengan hasil survei itu.
Intinya adalah bahwa enam bulan sebelum hari pemilihan tidak banyak yang berubah dengan pemilih. Mengapa? Karena mayoritas pemilih nasional ada di pedesaan. Penetrasi informasi di sana tidak sekencang di perkotaan. Pemilih nasional juga sangat besar dan luas. Tidak mudah dijangkau untuk mobilisasi dalam waktu yang cepat.
Dalam pemilihan presiden juga sama?
Iya. Dalam pemilihan presiden sama juga. Pada Maret 2004, kami sudah menemukan bahwa SBY akan kalahkan Megawati. Sebelumnya pada September 2003, SBY masih di bawah Megawati. Lalu apakah bisa dikatakan bahwa survey yang dilakukan pada september 2003 itu salah? Kan tidak.
Kalau dalam pemilihan presiden tahun 2009?
Setahun sebelum pemilihan itu, kami sudah menemukan bahwa SBY akan menang. Hasilnya tidak banyak berubah. Lagi-lagi ini karena pemilih besar, tinggal di daerah yang sangat luas, dan berat untuk dijangkau mobilisasi secara cepat.
Pada dasarnya survei sebelum pemilihan bisa diandalkan untuk menggali kecenderungan pemilih?
Survei opini publik yang dilakukan secara benar merupakan salah satu alat yang berguna. Memang tidak sempurna, tapi belum ada alternatif yang lebih baik. Kenyataan ini terlihat bahwa semua partai, terutama partai besar seperti Golkar, PDIP, Demokrat, selalu melakukan survei untuk input mereka dalam menjaring calon kepala daerah. Kalau survei tidak membantu, mereka tak akan menggunakannya.
Bagaimana memahami bahwa sebuah survei opini publik yang anda lakukan itu bisa kita percaya?
Pertama-tama lihat dari laporan bagaimana survei dilakukan. Kalau bagian ini tidak transparan saya tidak sarankan untuk mempercayai hasil surveinya. Di situ anda bisa baca masuk akal apa tidak sebuah survei dilakukan.
Misalnya, beberapa hari yang lalu ada lembaga yang merilis hasil survei, Jikowi menang sekitar 73%, sisanya Foke.
Di situ tidak ada undecided voter sama sekali. Kok bisa? Hal lain yang menarik didiskusikan dari survey itu adalah sampelnya besar sekali. Dilaporkan sampelnya 10 ribu orang. Lama survei sekitar 10 hari. Dalam pengalaman saya, satu orang biasanya mewawancarai 10 orang dalam seminggu. Lebih dari itu seorang pewawancara sudah tidak fresh lagi. Respond ratenya juga sangat tinggi, sekitar 96%. Bearti 9600 dari 10 ribu bisa diwawancarai. Bagi saya itu aneh.
Dari pengalaman kami, para responden di perkotaan itu banyak yang menolah diwawancarai.
Belum lagi soal biaya. Survei dengan sampel 400 responden untuk operasi di lapangan tak kurang dari 50 juta. Kalau 10 ribu responden tinggal anda kalikan saja berapa. Untuk sampel 400 saya biasa minta minimal 100 juta. Anda tinggal kalikan saja kalau sampel 10 ribu. Sekitar 2,5 milyar. Siapa yang bayar sebesar itu untuk satu kali survei di sebuah provinsi? Engga masuk akal. Atau mereka punya relawan yang tak dibayar? Mungkin saja, tapi saya kurang percaya. Di hari gini ada orang kerja sukarela untuk politik. Kalau untuk greja atau masjid sih masih masuk akal.
Setelah saya cek, lembaga yang melakukan survei itu satu-satunya yang salah dalam melakukan quick Count pada putaran pertama. Katanya Jokowi dalam Quick Count itu menang 55%. Jadi Pilkada satu putaran.
Nama lembaga yang melakukannya asing bagi saya yang sudah 13 tahun mengerjakan survei.
Secara umum, bagaimana kecenderungan respond rate itu dalam survei Pilkada DKI?
Ada karateristik yang sifatnya umum. Makin ke desa, makin tinggi respond rate itu. Sedang di kota biasanya tidak setinggi di desa. Mengapa? Karena orang desa itu umumnya lebih mau menerima kita sebagai surveyor. Lebih ramah, dan lebih kooperatif. Orang-orang lapisan bawah umumnya lebih mau melayani permintaan kita daripada orang-orang kelas menengah ke atas dan banyak di perkotaan.
Apakah ada kode etik bagi lembaga-lembaga survei ini?
Ada. Salah satunya, kalau hasil survey diumumkan ke publik, juga harus mengumumkan siapa yang mendanai survei itu; Kecuali kalau tidak diumumkan ke publik. Dalam pemilihan Pilkada putaran kedua ini, Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerjasama dengan Majalah Tempo, lembaga saya sendiri bekerjasama dengan MNC Group. Artinya, dua kelompok media ini membiayai pelaksanaan survey. Hasilnya diumumkan.
Juga yang krusial adalah melporkan metodologi dan pertanyaan yang digunakan dalam survey. Intinya harus transparan, bukan harus sama antara hasil survey yang dilakukan sebelum Pilkada dan hasil Pilkada di hari H. Yang terakhir ini tidak ada dalam kode etiknya.
Survei LSI yang bekerjasama dengan Majalah TEMPO, Jokowi –Ahok unggul tipis dengan perolehan 45,6 persen dan Foke-Nara 44,7 persen. Margin of errornya 5 persen. Apa yang bisa dijelaskan dengan hasil seperti ini?
Pada saat survei dilakukan, persaingan sangat seimbang. Hasil survei itu tidak bisa menyimpukan siapa yang unggul pada waktu itu karena selisih antara keduanya di bawah 5%. Kalau pada hari survei aja kita tidak tahu siapa yang unggul, apa lagi pada hari H nanti besok.
Bisa saja Fauzi atau Jokowi yang menang. Peluang untuk keduanya sama besar. Yang akan menentukan adalah kerja pada hari-hari hingga hari H di TPS. Siapa yang unggul di waktu itu ia yang akan menang.
Undecided Voters dalam survei ini 9,7 persen, jumlah yang sangat menentukan siapa pemenang dari dua kandidat ini. Apa yang harus dilakukan Foke dan Jokowi untuk merebut mereka ini?
Dengan fakta ada sekitar 10 persen yang belum memutuskan, maka hasil Pilkada betul-betul sulit diperkirakan hasilnya karena selisih antara dua pasangan juga di bawah 5%.
Hasil survei menunjukkan bahwa perolehan Jokowi dan Foke sangat tipis, padahal hasil hitungan resmi pada putaran pertama selisihnya cukup jauh. Apa yang menyebabkan hasil di putaran kedua kian menipis.
Itu indikasi bahwa beberapa partai, terutama PKS, bisa memobilisasi konstituennya untuk mendukung Fauzi. Selisih Fauzi dan Jokowi di putaran pertama kan hanya sekitar 9 persen. Perolehan Hidayat Nyrwahid sekitar 11%. Kalau pemilih Hidayat cukup solid maka peluang untuk menyamai Jokowi cukup terbuka. Kemungkinan itu besar karena pemilih Hiadayat umumnya pemilih PKS, dan pemilih PKS umumnya disiplin dan loyal pada partainya.
Cuma itu kan tidak cukup. Fauzi harus juga mampu menarik pendukung partai lain, terutama PAN, PPP, Golkar. Bila bisa Fauzi bisa menang. Tapi kan kita tahu hubungan pemilih dengan partai itu lemah. Saya cenderung melihat pemilih Fauzi itu pertama-tama warga Betawi. Jumlahnya kalau solid sekitar 27%. Di dalamnya ada pemilih PPP dalam proporsi cukup besar. Ditambah pemilih PKS, yang proporsi etnik lain di dalamnya cukup besar seperti etnik Sunda, Padang, dll. Itulah kekuatan dasar Fauzi.
Suara Jokowi mandeg, dan itu cerminan dari statisnya dua etnik utama pemilih Jokowi, yakni Jawa 36% dan Tionghoa 6%. Jokowi butuh tambahan dari etnik lain.
Memang Fauzi akan lebih mudah menang bila sentimen Islam untuk menolak Ahok sangat solid. Gejala soliditas ini tidak terlihat di putaran pertama maupun dalam survei terakhir. Pemilih Muslim 85%. Kalau 70% saja dari pemilih Muslim punya sentimen menolak Ahok maka Fauzi akan menang. Proporsi sebesar itu belum terlihat di survei terakhir. Tidak tahu setelah survei tersebut apakah mobilisasi sentimen politik Islam berhasil atau tidak. Kita lihat hasilnya hari ini.