- VIVAnews/Maryadi
VIVAnews - Penurunan tanah atau land subsidence di Jakarta terjadi sejak tahun 1974 dan akan terus terjadi. Kondisi ini diperburuk dengan meningkatnya permukaan air laut akibat pemanasan global (global warming).
Data terbaru tahun 2010 disebutkan sebanyak 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut. Data ini keluar berdasarkan hasil penelitian konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS), sebuah studi persiapan untuk membuat tanggul atau dam raksasa di pantai utara Jakarta.
Hasil penelitian itu juga menyebutkan akibat land subsidance dan sea level rise (meningkatnya permukaan air laut), luas lahan yang berada di bawah permukaan air laut akan semakin besar.
Diperkirakan sekitar 10-20 tahun ke depan 50 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan air laut.
Berdasarkan data secara kuantitatif land subsidence di Jakarta, sejak 1974-2010 ditemukan fakta telah terjadi penurunan muka tanah hingga 4,1 meter. Itu terjadi di wilayah Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara.
Sejumlah wilayah lainnya seperti di Cengkareng Barat mengalami penurunan 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Ancol 1,88 meter (titik pantau di area wisata Ancol), Cempaka Mas 1,5 meter, Cikini 0,80 meter dan Cibubur 0,25 meter.
Diketahui sejak 1974-1982 land subsidence belum terjadi secara signifikan seperti saat ini, karena penggunaan air tanah tidak tinggi dan bangunan juga masih sedikit. Sedangkan mulai 1982-1991, tanah Jakarta mulai mengalami penurunan, dan pada 1991-2010 kondisi itu makin meluas.
Penurunan muka tanah ini juga terjadi karena penyedotan air bawah tanah untuk kepentingan rumah tangga dan industri. Makin turunnya permukaan tanah, maka air laut akan lebih mudah masuk.
Langkah sementara untuk mengatasinya adalah membangunan tanggul laut meski masih seporadis. Tanggul itu antara lain berada di Muara Angke, Muara Karang, Pluit, Luar Batang, Cilincing, Marunda dan Martadinata di bagian Pantai Utara Jakarta pada tahun 2008 dan 2009.
Tanggul beton maupun tanggul batu kali yang dibangun panjangnya kurang lebih 3.000 meter dengan ketinggian yang bervariasi antara 1 sampai dengan 3 meter di atas permukaan tanah.
Namun menurut Fauzi Bowo, tanggul yang ada saat ini ada belum memadai. Diprediksi, dalam 5 sampai 10 tahun ke depan, DKI harus memiliki sistem penanggulan terbaru. Apalagi sistem yang saat ini digunakan sudah tidak bisa diterapkan. "Sangat mendesak untuk dibangun tanggul raksasa," kata Foke, begitu sebutan Fauzi Bowo.
Tanggul ini nantinya, kata Fauzi Bowo, memakai sistem polder atau penampungan air. Harus dibangun lebih ke depan ke arah laut yang menghubungkan pulau terdekat di Teluk Jakarta. Sistem ini telah diterapkan di Belanda dan New Orleans, Amerika Serikat.
"Meski air laut tinggi, tetapi kawasan di bawah permukaan air laut tetap kering karena ada tanggul raksasa yang akan memompa air ke laut," jelasnya. (umi)