- ANTARA/Andika Wahyu
VIVAnews – Suasana tenang di kantor redaksi VIVAnews.com di lantai 31 di gedung Menara Standard Chartered, Jakarta, sontak berubah gaduh. Meja dan kursi bergoyang. Gelas di meja pun tumpah. "Gempa, ada gempa," teriak para awak redaksi bersahutan.
Seketika itu alarm meraung. Petugas keamanan langsung mematikan lift dan karyawan diminta keluar melalui tangga darurat. Siang itu, Rabu 2 September 2009, ratusan karyawan yang berkantor di gedung berlantai 35 tersebut berhimpit-himpitan menuruni tangga. Sesekali terdengar suara dzikir dan teriakan Allahu Akbar saat gempa menggoyang gedung lagi.
Kepanikan yang sama melanda para penghuni gedung DPR. Bedanya, para anggota DPR dan stafnya di Gedung Nusantara berlantai 24 tersebut tidak bisa melewati tangga darurat. Mereka hanya pasrah. Salah satu di antaranya adalah Alvin Lie, yang ketika itu masih menjadi anggota DPR, dan berkantor di lantai 20.
Alvin berang. Soalnya ia pernah mengirim foto dan melaporkan ke Sekjen DPR soal kondisi tangga darurat. Namun, laporan itu tak dihiraukan. Bahkan ia sempat membaca tulisan di pintu tangga, "Maaf, tangga darurat tidak bisa digunakan."
"Coba bayangkan kalau ada kebakaran atau gempa yang lebih besar, sudah dipastikan banyak korban jiwa di DPR," ujar Alvin.
Selain mereka, korban kelelahan dan syok akibat gempa tersebut ternyata juga memenuhi rumah sakit. Mereka kelelahan dan pingsan. Korbannya kebanyakan perempuan yang sebagian besar dalam keadaan hamil. Rumah Sakit (RS) Jakarta misalnya, merawat sedikitnya 19 korban. Para korban pada umumnya mengalami syok.
Gempa yang membuat panik warga Jakarta itu sebenarnya berpusat di Tasikmalaya, Jawa Barat. Gempa berkekuatan 7,3 SR itu terjadi pada kedalaman 30 kilometer dan berada di 82,424 Lintang Selatan dan 107,32 Bujur Timur.
Gempa di Tasikmalaya dengan kekuatan sebesar itu sampai di Jakarta kekuatannya menjadi IV mmi (modified mercally intensity). Skala MMI adalah ukuran kerusakan akibat gempa berdasarkan pengamatan visual di suatu tempat di permukaan bumi. Rentang besaran skala dari I (paling ringan) hingga X (paling berat)
Skala IV berarti getaran hampir dirasakan semua penduduk, orang banyak terbangun, gerabah pecah, jendela dan sebagainya pecah, dan berbagai barang lain berjatuhan.
Meskipun masih kategori Skala IV, gempa mengakibatkan sejumlah gedung di Jakarta retak-retak. Misalnya, sebuah gedung di Mega Kuningan mengalami retak halus, paling terlihat di keramik toilet yang jebol. Hal yang sama terjadi di Gedung Departemen Perdagangan di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Bahkan fasilitas pipa air bocor hingga menimbulkan genangan.
Retaknya gedung di Jakarta membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta khawatir dan segera menaikkan batas toleransi gempa. Sebab berdasarkan ketentuan, toleransi tahan gempa gedung di Jakarta hanya 7 skala richter (SR). Lalu bagaimana jika gempa terjadi di atas 7 skala richter.
Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, menegaskan toleransi tahan gempa gedung-gedung bertingkat di DKI Jakarta harus ditambah 20 persen dari kekuatan gempa yang berlaku saat ini (7SR).
Foke, panggilan akrab Fauzi, meminta Dinas Pengawasan dan Penataan (P2B) Bangunan DKI Jakarta agar melakukan pengecekan terhadap konstruksi gedung-gedung di DKI Jakarta.
Instansi tersebut kemudian langsung memeriksa ulang struktur terhadap 703 bangunan dan gedung tinggi di Jakarta. Namun, dari hasil pemeriksaan tidak ada bangunan yang rusak. "Tidak ada. Baik kegagalan struktur, atau lainnya," kata Kepala Dinas P2B DKI Jakarta Hari Sasongko.
Yang harus dicemaskan, kata dia, justru bangunan struktur sedang ke bawah, misalnya rumah tinggal. Sebab, banyak rumah tidak memiliki IMB sehingga tidak memiliki standar kontruksi. Artinya, bila gempa dengan kekuatan tinggi terjadi, bangunan jenis tersebut yang rawan rusak parah. "Kalau bangunan tinggi sudah sesuai dengan perhitungan dan struktur," ujar Hari Sasongko.
Menurut Hari, instansinya telah meningkatkan batas toleransi terhadap gempa. Aturan baru ini juga sudah disebar ke pengelola gedung bertingkat di Jakarta. Imbauan tersebut ternyata tidak terlalu sulit dilaksanakan. Sebab, pada umumnya para arsitek sudah menambah toleransi tahan gempa sebesar 15 persen dari yang ditetapkan sebesar 7 SR. “Tapi karena gubernur minta 20 persen, maka akan kami sampaikan kepada para arsitek di Jakarta,” tandasnya.
Saat ini kantor P2B masih terus melaksanakan pemeriksaan kelayakan terhadap 703 gedung tinggi tersebut yang terdiri dari gedung perkantoran sebanyak 293 unit, apartemen (274 unit), hotel (44 unit), mal (20 unit), institusi seperti kampus, sekolah, stasiun televisi dan rumah sakit (27 unit), gedung multi fungsi untuk kantor, hotel, apartemen dan mal sebanyak 45 unit.
Wakil Gubernur Prijanto mengaku telah menerima laporan keamanan bangunan bertingkat tersebut. "Ada beberapa apartemen yang sudah waktunya untuk diperbaiki, dicek kekuatan konstruksinya. Begitu pula dengan gedung perkantoran dan bangunan bertingkat lainnya," ujar Prijanto kepada VIVAnews.com.
Jakarta memang perlu waspada terhadap gempa. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) misalnya, telah memperingatkan gedung-gedung di Jakarta untuk mengantisipasi gempa. Karena Jakarta di bawah bayang-bayang jalur gempa. LIPI menyebut adanya patahan gempa di Jakarta. Melintang dari wilayah Ciputat sampai kawasan Kota. Patahan itu disebut juga Sesar Ciputat. Buktinya, adalah adalah adanya sumber mata air panas di sekitar Gedung Arsip Nasional. Namun, sesar itu adalah patahan tua.
Sesar itu hingga kini masih berstatus tidak aktif. Tapi, bisa terbangun kembali jika sesar tua itu "digelitik" oleh gempa berkekuatan di atas 7 skala Richter. Untungnya, tak ada gempa sebesar itu yang berpusat di Jakarta, setidaknya dalam 200 tahun terakhir.
Pakar gempa LIPI, Danny Hilman Natawidjaja mengatakan, meski patahan aktif belum dideteksi di Jakarta, sejarah mencatat gempa besar pernah meluluhlantakkan Jakarta. Misalnya, gempa yang terjadi pada 1699, dan 1852.
Danny menyebut fakta sejarah gempa selalu berulang dalam periode waktu tertentu. “Ini adalah peringatan bagi Jakarta, kota besar dengan 9 juta penduduk. Jakarta harus selalu siap menghadapi skrenario terburuk bencana gempa.”
Peringatan dari Danny ada dasarnya. Dari data peta gempa 2010, Jakarta ternyata termasuk rawan. Tingkat kerentanan Jakarta terhadap gempa bumi naik probabilitasnya. Pada 2002, masih tercatat pada angka 0,15 g (gravitasi). Kini, pada 2010 naik menjadi 0,2 g.
Data ini tentunya cukup mengagetkan. Apalagi, menurut Jehansyah Siregar, pengamat perkotaan yang juga arsitek lulusan ITB, ketahanan gedung di Jakarta dalam menghadapi gempa masih diragukan.
Hal tersebut, menurut dia, bisa dilihat dari fenomena yang terjadi saat gempa melanda Jakarta tahun lalu. Banyak gedung retak. Memang tidak rusak berat. “Tapi seandainya terkena gempa yang lebih hebat saya ragu apakah gedung-gedung itu akan bertahan dan tidak kolaps," ujarnya.
Karena gempa yang terjadi di Jakarta hanya terimbas IV mmi dari gempa 7,3 SR yang berpusat di Tasikmalaya. "Bagaimana jika pusat gempa itu di Jakarta, tentu guncangan akan semakin tinggi."
Dia menilai standar toleransi gempa di Jakarta yang sebesar 7 SR, dan ditambah lagi 20 persen, sebenarnya sudah cukup memadai. Tapi yang menjadi pertanyaan apakah pembangunan gedung tersebut sudah memenuhi standar?
Menurutnya, ketahanan suatu gedung dalam menghadapi gempa tidak terlihat kasat mata. "Perlu dilihat seperti apa pondasi gedung itu, berapa kedalamannya dan materi yang digunakan," ujarnya.
Artinya, pengawasan terhadap standard keamanan terhadap gempa dalam pembangunan gedung harus ketat. Seperti di Jepang misalnya, jika ada perusahaan pengembang ketahuan membangun gedung di bawah standar yang sudah ditentukan pasti dihukum. "Bukan itu saja, bahkan menjadi berita nasional. Karena ini mengancam jiwa banyak orang," ujar Jehansyah.