Modus Korupsi di Dinas Kebudayaan Jakarta, Pernah Bikin Pagelaran Seni Budaya Fiktif Anggaran Rp 15 M
- VIVA.co.id/Andrew Tito
Jakarta, VIVA - Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta membeberkan temuan dugaan korupsi besar di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Kasus ini melibatkan pejabat dinas dan sebuah event organizer (EO) yang tidak terdaftar secara resmi.
Modus operandi yang digunakan melibatkan pemalsuan dokumen, stempel, serta rekayasa kegiatan fiktif dengan nilai kerugian negara yang masih dalam penghitungan auditor.
Menurut Kepala Kejati DKI Jakarta, Patris Yusrian Jaya, dugaan korupsi ini melibatkan pimpinan Dinas Kebudayaan yang bekerja sama dengan EO ilegal. EO tersebut tidak terdaftar secara resmi, namun diduga memonopoli proyek-proyek di dinas tersebut. Bahkan, EO ini memiliki ruangan dan staf di kantor Dinas Kebudayaan.
“EO ini membuat beberapa perusahaan dan vendor-vendor. Kegiatan di Dinas Kebudayaan seolah-olah dilaksanakan oleh EO ini bersama vendor-vendor tersebut. Dalam pelaksanaannya, ada kegiatan yang sepenuhnya fiktif, sebagian lain dilaksanakan tapi sisanya difiktifkan,” ungkap Patris dalam konferensi pers.
Lebih jauh, untuk melancarkan aksinya, EO menggunakan dokumen palsu dan stempel dari perusahaan yang dipinjam namanya. Perusahaan-perusahaan ini diberi imbalan sebesar 2,5% tanpa terlibat langsung dalam kegiatan tersebut.
Meski nilai pasti kerugian negara masih dihitung, penyidik menduga jumlahnya bisa mencapai Rp 150 miliar. Jumlah ini berasal dari berbagai kegiatan fiktif pada anggaran tahun 2023. “Kami sudah mendapatkan rekening koran, bukti-bukti elektronik, dan dokumen hasil penggeledahan,” tambah Patris.
Salah satu kegiatan yang terungkap adalah pagelaran seni budaya dengan anggaran Rp 15 miliar. Modusnya, EO mendatangkan sejumlah orang, memberi mereka seragam penari, memotret mereka di panggung, dan membuat laporan fiktif seolah-olah kegiatan benar-benar terlaksana.
Dalam penggeledahan, Kejati juga menemukan stempel palsu yang digunakan untuk memalsukan dokumen pertanggungjawaban anggaran. “Sebagian stempel sudah berhasil dimusnahkan sebelum penggeledahan, namun kami berhasil menemukan sisa-sisanya,” jelas Patris.
Sejauh ini, Kejati telah menetapkan tiga tersangka, termasuk pemilik EO dan pejabat di Dinas Kebudayaan. Namun, dari tiga tersangka, baru pemilik EO yang ditahan, sementara dua lainnya masih dalam proses pemanggilan sebagai tersangka.
“Kami sudah menjadwalkan pemeriksaan terhadap dua tersangka lainnya. Mereka sebelumnya sudah diperiksa sebagai saksi, dan sekarang kami panggil sebagai tersangka,” kata Patris.
Selain menyelidiki anggaran tahun 2023, Kejati juga mulai menyisir anggaran tahun 2024 yang mencapai Rp 400 miliar. “Kami fokus pada kegiatan yang berpotensi dimanipulasi. Tidak menutup kemungkinan ada modus serupa di dinas lain, tapi masih dalam proses penyelidikan,” ujarnya.
Dalam kaitannya dengan program pemerintah pusat seperti makan bergizi gratis dan renovasi sekolah, Kejati memastikan akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk mengawasi pelaksanaannya.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya transparansi dalam pengelolaan anggaran negara. Dengan bukti-bukti yang terus berkembang, diharapkan Kejati DKI Jakarta dapat menuntaskan kasus ini dan meminimalisir kerugian negara yang lebih besar di masa mendatang.