8 Pekerja Migran Non Prosedural Diamankan, Tidak Tahu Kalau Akan Diberangkatkan Secara Ilegal
- VIVA.co.id/Sherly (Tangerang)
Tangerang, VIVA - Sebanyak 8 warga negara Indonesia diamankan petugas Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia atau Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, BP2MI. Mereka diamankan di salah satu apartemen kawasan Bogor, Jawa Barat.
Pengamanan yang dilakukan pada 23 Desember 2024 ini, terjadi setelah adanya informasi yang menyebutkan sejumlah WNI akan berangkat menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara non-prosedural.
Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/ Kepala BP2MI, Abdul Kadir Karding, mengatakan para calon pekerja yang berasal dari beberapa daerah ini, tidak mengetahui perihal keberangkatan mereka untuk bekerja ke luar negeri sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) melalui proses non-prosedural.
"Kami dapat informasi soal keberangkatan secara non-prosedural, kami cek ternyata benar. Dan setelah dilakukan pemeriksaan, mereka ini enggak tahu kalau berangkat secara non-prosedural, mereka hanya ingin kerja di luar negeri, di UEA, tepatnya Abu Dhabi, dengan upah yang cukup besar. Sehingga, mereka mau mengikuti persyaratan yang diberikan,"Â jelas Abdul Kadir Karding, kantor BP2MI, Tangerang, Kamis, 26 Desember 2024.
Para calon PMI hanya dimintai foto kopi kependudukan dan paspor. Tanpa adanya syarat lainnya seperti medical check-up, dan berkas perizinan dari suami.
"Mereka ini enggak lengkap diminta persyaratannya, tapi karena ingin bekerja dan tidak tahu apa-apa jadi hanya mengikuti saja dan juga diimingi upah yang besar sebanyak Rp 9 juta," ujarnya.
Sementara itu, Ta, salah satu WNI yang menjadi korban CPMI non-prosedural mengatakan, ia mendapatkan lembaga penyedia keberangkatan PMI ke Abu Dhabi dari rekan suaminya.
"Saya tahu dari teman suami, terus pas mau berangkat saya ditanya, difoto cuma bukan sama lembaga gitu, tapi sama sponsor," ujar dia.
Ta yang juga pernah berangkat sebagai PMI melalui jalur prosedural atau legal menuju Yordania ini, tidak menaruh rasa curiga, lantaran ia berpikir bila hal tersebut aturan baru.
"Enggak kepikiran kalau itu nggak resmi, saya ikut saja. Memang prosesnya beda dari beberapa tahun lalu saya kerja ke Yordania. Waktu itu ada lembaganya datang, minta persyaratan lengkap seperti surat izin suami, kalau sudah beres, pergi untuk medical check-up, kasih fotokopi kartu keluarga, KTP, lalu masuk dulu ke perusahaan," jelasnya.
Di sana ia juga belajar bahasa selama 1 bulan, belajar bersih-bersih khusus untuk ART (Asisten Rumah Tangga). Sehingga ketika tiba di luar negeri untuk dipekerjakan, ia telah memiliki kemampuan khususnya bahasa.
"Saya belajar bahasa, tapi yang ini enggak, tiba-tiba cuma diajak ke Bogor, saya tanya soal jam penerbangan saja, mereka nggak tahu kapan, sampai tiba-tiba jam 2 polisi datang kita di bawa ke BP2MI," ungkapnya.
Dalam kasus ini, petugas masih terus melakukan penelusuran terkait sindikat keberangkatan PMI Non-Prosedural yang nantinya akan dikenakan Pasal 81 Undang-undang No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yaitu orang perseorangan yang melaksanakan penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).