2 Developer Perumahan di Bogor Digugat Karena Gagal Bayar, Kontraktor Beli Rumah Dijual Lagi
- VIVA.co.id/Muhammad AR (Bogor)
VIVA –Dua pengembang perumahan Kirana Arumaya, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, PT Graha Indah Kirana (GIK) dan developer barunya PT Arya Mahardika Propertindo (AMP) digugat ke Pengadilan Negeri Kota Bogor karena wanprestasi. Gugatan tersebut dilayangkan seorang ibu bernama Hani (40 tahun) karena proyek pengerjaan 11 unit rumah tak kunjung dibayar.
Tak hanya tak membayar upah para pekerja kontraktor, satu unit rumah milik Hani dijual oleh pengembang melalui KPR. Hani mengatakan, awalnya pada tahun 2021 dirinya ditawari pekerjaan membangun oleh PT GIK dengan Surat Perintah Kerja sesuai dengan nilai yakni Rp2.700.000 permeter dengan total pembayaran Rp589 juta. Pembayaran itu dibagi beberapa termin, yakni 10 persen, 50 persen, 75 persen, dan terakhir 100 persen.
"Tapi sejak awal pembangunan sudah 10 persen, itu enggak dibayar. Karena tidak dibayar-bayar kami meminta tolong karena sudah kehabisan dana juga, karena seharusnya ada pembayaran pertermin. Itu sudah ada 11 unit yang kami bangun separuh 50 persen, karena kami kehabisan modal. Termin pertama, termin kedua enggak dibayar, kami berhenti membangun dan minta agar hak kami dibayar. Mereka tidak mau membayar," kata Hani kepada VIVA.
Karena tidak ada iktikad baik untuk membayar pekerjaan tersebut, Hani melayangkan somasi berkali-kali namun tak digubris. Karena wanprestasi, tahun 2024 menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Kota Bogor. Hani mengungkapkan dalam mediasi dirinya memberikan kebebasan pengembang untuk menghitung sendiri pekerjaan yang dikerjakan. Dan dalam mediasi pengembang bersedia membayar tak sesuai perjanjian.
"Saya seorang ibu empat anak mungkin nyawa kami tidak berarti, hingga banyak yang mendzolim saya dan anak anak kami mati pun, tidak ada yang perduli. Tukang-tukang meminta tolong ke kami. Kami butuh makan. Makanya kami sudah habis-habisan, tolong pak bayar hak kami, kami sama sama cari nafkah untuk keluarga kami," ungkap Hani.
Di tengah pekerjaan yang tak dibayar, Hani menyebut, PT Graha Indah Kirana (GIK) mengover alih perumahan ke developer baru PT Arya Mahardika Propertindo (AMP). Di mana developer baru menurunkan harga SPK yang semula Rp2.750.000 menjadi Rp 2.100.000. Padahal untuk mengerjakan pekerjaan tersebut, dirinya terpaksa berhutang sana-sini.
"Tolong hargai, kami cuma minta sesuai SPK hak kami. Kita sama sama manusia. Saya jual mobil dana dari bank, rumah saya juga, karena dari tahun 2021. Karena waktu itu 4 bulan target harus susah selesai," imbuhnya.
Tak hanya pekerjaannya tak dibayar, Hani menyebut, pihak pengembang baru juga menjual rumah miliknya yang dibeli secara sah melalui Perjanjian Pengikat Jual Beli (PPJB) yang tercatat di notaris.
"Tapi ternyata rumah itu dijual kembali ke orang lain oleh developer yang sama, di perumahan yang sama. Saya beli cash dijual lagi ke orang lain melalui KPR BTN. Dan janji-janji mereka mau ganti rumah sampai sekarang belum diganti. Bahkan legal mereka ngancam disobek-sobek PPJB (Perjanjian Pengikatan jual Beli) saya di depan di depan banyak orang, banyangin," ungkapnya.
Kuasa Hukum Hani, Adi Purnomo mengatakan, mediasi antara kliennya dan pihak tergugat dua developer berlangsung alot. Hal itu karena pihak tergugat tidak mau membayar seusai SPK Rp2,75 juta permeter.
"Kemudian jika deadlock, kita minta untuk penyitaan objeknya dari majelis hakim seperti apa. Kalau masih alot kita serahkan ke pihak berwenang. Kita lanjut ke pidana," jelas Adi.
Di konfirmasi usai mediasi, kuasa hukum dari PT GIK sekaligus kuasa hukum PT AMP, Rizki Maulana mengakui telah membuka ruang untuk menyelesaikan persoalan ini secara musyawarah hingga berlanjut ke gugatan ke Pengadilan.
"Kalau dari sisi kita dari kemarin membuka ruang untuk bertemu di PT. Sebelum-sebelumnya juga datang ke PT. Datang ke Prinsipal kami, dan mediasi hari ini masih deadlock, " jelasnya.
Rizki mengakui bahwa kliennya PT AMP merupakan korban dari PT GIK itu sendiri.
"Kami juga sebetulnya di sini adalah korban, di mana kita take over (dari PT sebelumnya PT GIK) inventaris dari aset. Klien kami (PT AMP) juga habis lumayan banyak di situ, yang jelas nominalnya jauh lebih besar daripada penggugat. Sehingga di-take over," ucapnya.
Pada dasarnya, kata Rizki, membenarkan selaku pihak tergugat PT AMP dan PT GIK, di mana PT AMP tersebut benar merupakan PT yang takeover dari aset atau proyek PT GIK. Di mana di dalamnya banyak permasalahan yang diselesaikan satu-persatu.
"Untuk penggugat ini, sudah sempat sowan ke kantor klien kami yang di mana, sudah diberikan juga solusi, tapi tidak ada jawaban," katanya.
Rizki menjelaskan perkait SPK Rp2.700.000 permeter antara penggugat Ibu Hani dan PT GIK bahwa perjanjian tersebut kan terjadi sebelum adanya takeover ke PT AMP. PT AMP tidak mengetahui ketika takeover dari PT GIK kepada PT AMP. Ternyata, banyak bermunculan permasalahan. Bahkan PT AMP menyatakan akan bertanggungjawab.
"Ketika kita takeover itu kita memiliki bukti, yang di mana bahwa takeover ini terjadi dan perubahan PT yang sebelumnya kita beli sahamnya juga Itu terjadinya pun di akta notaris menyatakan bahwa hubungan pihak ketiga lain, jika ada suatu saat permasalahan, itu tanggung jawab direktur sebelumnya (PT GIK). Itu ada di aktanya. Kenapa dituangkan di akta, karena penandatanganan akta para pihaknya hadir dan direktur lamanya hadir. Makanya, kita di situ coba untuk bantu menyelesaikan gimana," jelasnya.
Terkair rumah milik Hani yang dijual kembali oleh PT AMP melalui KPR. Pihak kuasa hukum enggan berkomentar dan masih fokus dalam penyelesaian terkait gugatan pengerjaan SPK pembangunan rumah.
"Iya, kalau itu nanti ya, kami belum bisa berkomentar, masih fokus di perkara yang ini, kecuali yang bersangkutan melakukan upaya hukum, apa saja langkah-langkah upaya hukum, kan ada," jelasnya.