Korban Pelecehan Seksual Rektor UP Tolak Permintaan Cabut Laporan, Kuasa Hukum: Proses Tetap Jalan

Kuasa hukum korban pelecehan seksual Rektor UP non aktif, Amanda Manthovani
Sumber :
  • VIVA.co.id/Galih Purnama (Depok)

VIVA – Proses hukum laporan dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan Rektor Universitas Pancasila (UP) non aktif Prof. Edie Toet Hendratno (ETH) masih berlanjut. RZ dan DF masih menjalani rangkaian pemeriksaan di kepolisian. Namun di tengah perjalanan, ternyata salah satu korban mendapat intimidasi.

Bencana Banjir Dahsyat di Spanyol, Total Korban Tewas Mencapai 211 Orang

RZ, salah satu korban yang berstatus karyawan UP itu didatangi pihak kampus dan diminta untuk mencabut laporan di polisi. Intimidasi tersebut terjadi sekitar Februari 2024 ketika pemberitaan kasus ini masif di media massa.

“Ada intimidasi. Untuk cabut laporan. Setelah kasus ini naik di permukaan media, korban dipanggil,” kata kuasa hukum RZ, Amanda Manthovani, Minggu 10 Maret 2024.

Korban Tewas Kebakaran Pabrik di Bekasi Bertambah jadi 10 Orang

RZ melapor ke Polda Metro Jaya pada Januari 2024. Sebelumnya, RZ sudah melapor ke yayasan untuk meminta pertanggungjawaban kasusnya namun tidak ditanggapi.

“Jadi permintaan (cabut laporan) itu saat semua sudah ramai di media,” ungkapnya.

Satu Pelaku Kasus Pengeroyokan terhadap TNI Mengaku Mabuk

Amanda mengatakan, kliennya sudah menempuh jalur prosedural internal. Hanya saja tidak ada itikad baik dari pihak kampus atau yayasan. Sebaliknya, RZ justru mendapat perlakuan intimidasi di lingkungan kerjanya. Bagi korban sampai saat ini sudah tertutup peluang untuk berdamai dengan terlapor.

“Sampai detik ini tidak pernah membicarakan terkait ini selesai. Berharap tetap proses berjalan,” tegasnya.

Amanda mendapat pesan dari kedua korban agar terus mengawal kasus ini. Kedua kliennya berharap kebenaran akan terungkap dan tidak terjadi lagi kasus serupa di lingkungan kampus UP.

“Amanat korban tolong sampaikan pada masyarakat bantu kami tegakkan keadilan. Jangan sampai ada petinggi yang dengan leluasa melakukan pelecehan dalam kampus yang harusnya tidak dilakukan,” katanya.

Amanda menuturkan pihaknya tidak ada komunikasi dengan kampus. Bahkan sikap yang ditunjukkan kampus cenderung abai terhadap korban.

“Bagaimana mereka (kampus) komuninikasi? Saat kedua korban membuat surat ke yayasan pun tidak ada respon. Dari korban masih memberikan kesempatan pada yayasan supaya bisa selesaikan baik-baik, tapi ngga direspon,” ujarnya.

Terlebih sambung Amanda, pihak kampus membuat narasi yang menyudutkan para korban yaitu terkait politisasi kampus pemilihan rektor. Ditegaskan Amanda, kasus yang menimpa kliennya murni pelecehan seksual dan tidak ada kaitan dengan pemilihan rektor.

“Mereka membuat narasi semau mereka padahal kita intelektual yang paham hukum. Ini kasus pelecehan seksual murni bukan seperti yang mereka alihkan jadi isu lain,” tutupnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya