LBH Jakarta: Kebijakan ERP Belum Jadi Solusi Atasi Kemacetan

Pengendara melintasi alat teknologi sistem jalan berbayar elektronik (ERP) di Jalan Merdeka Barat, Jakarta. (Foto ilustrasi)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA Metro - Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberlakukan sistem jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) dinilai punya dampak negatif. Salah satunya berpotensi membuat kesenjangan sosial semakin tinggi. 

Jurus AKBP Ruri Urai Kemacetan di Banyuasin saat Libur Natal dan Tahun Baru

Pengacara Publik LBH Jakarta, Jihan Fauziah Hamdi mengkritik ERP hanya akan dinikmati masyarakat mampu atau ekonomi menengah ke atas. Sementara, menurutnya masyarakat ekonomi lemah dibatasi mobilitasnya. 

Dia menilai ERP juga belum menjadi solusi mengatasi kemacetan. Sistem ERP dikhawatirkan jadi masalah baru dan menjauhkan Jakarta sebagai kota yang inklusif. 

AI Bantu Perusahaan Ambil Keputusan Lebih Cepat

Menurut dia, maksud kota inklusif yakni kota dengan semua warga mampu hidup bersama-sama dengan aman dan nyaman. Selain itu, mempunyai kesempatan sama untuk berpartisipasi penuh dalam dimensi spasial, sosial dan ekonomi tanpa adanya diskriminasi.

Jihan mengatakan, jika ERP diterapkan di 25 ruas jalan di ibu kota maka akan ada biaya tambahan yang mesti dikeluarkan masyarakat saat beraktivitas dengan kendaraannya.

Ini Arti Kode Angka Kecil di Pelat RI 25 yang Terjebak Macet Tanpa Dikawal

Seorang pekerja memasang kamera pengawas alat teknologi sistem jalan berbayar elektronik (ERP) di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu, 14 November 2018.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Pun, ia menyinggung tarif ERP yang cukup tinggi karena berada pada kisaran Rp5 ribu-Rp19 ribu setiap kali melintas di 25 ruas jalan tersebut di atas. Dia mengingatkan ada sebagian masyarakat yang masih tergerus karena dampak dari pandemi. 

"Banyak warga yang ekonominya belum stabil atau bahkan belum mendapatkan pekerjaan setelah dirumahkan saat pandemi lalu. Karena itulah, saya rasa kebijakan ini sangat tidak tepat untuk diterapkan dalam waktu dekat,” kata Jihan, Kamis, 2 Maret 2023.

Kemudian, ia mengkritik rencana pemberlakuan sistem ERP yang tak melibatkan masyarakat secara luas. Jihan heran dengan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) mengenai penerapan ERP yang terkesan dibuat dalam keadaan terburu-buru. 

Menurut dia, buru-buru itu tanpa adanya partisipasi yang berarti dari masyarakat. Padahal, kata Jihan, dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan telah mengatur masyarakat berhak berikan masukan secara lisan dan atau tertulis dalam pembentukan Perda tersebut.

“Seharusnya masyarakat diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan dilibatkan terkait kebijakan ERP karena menyangkut kepentingan umum," tuturnya.

Bagi dia, sistem ERP masih jadi tanda tanya. Ia menyindir demikian karena sistem ERP diragukan  belum menjawab kebutuhan masyarakat dan menyelesaikan persoalan kemacetan di Ibu Kota.

Lebih lanjut, dia menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta mestinya memprioritaskan aksesibilitas transportasi publik. Ia menekankan itu lebih baik diikhtiarkan Pemprov DKI dibanding menerapkan ERP. 

Dia menyoroti ketersediaan dan keterjangkauan transportasi publik untuk daerah sub-urban, yang jadi tempat tinggal mayoritas kelas menengah ke bawah masih buruk sehingga banyak warga yang menggantungkan pada transportasi pribadi.

“Aksesibilitas transportasi publik kita belum memadai. Orang-orang Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (BoDeTaBek) yang bekerja di Jakarta tentu lebih banyak menggunakan KRL, di samping MRT, LRT, atau Trans Jakarta. Tapi semuanya belum cukup menampung," jelas Jihan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya