Kemendagri Jelaskan soal Depok Kota Religius Belum Disetujui
- VIVA/Zahrul Darmawan
VIVA Metro – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akhirnya angkat suara, setelah dituding menjadi penyebab tidak bisa diundangkannya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penyelenggaraan Kota Religius (PKR) di Kota Depok, Jawa Barat.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Benny Irwan mengatakan, fasilitasi penyusunan Raperda tingkat kabupaten/kota bukan kewenangan dari Kemendagri, melainkan Pemerintah Provinsi masing-masing.
“Berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri No.80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, fasilitasi penyusunan Rancangan Perda kabupaten dan kota merupakan kewenangan provinsi,” kata Benny melalui keterangan resmi yang diterima VIVA, Selasa 4 Oktober 2022.
Atas dasar itu, kata Benny, Raperda PKR usulan Pemerintah Kota Depok merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai naungannya.
“Tidak ada pembahasan Rancangan Perda dimaksud (Raperda PKR) di Kemendagri,” kata Benny.
Sebelumnya diberitakan, Raperda PKR yang telah rampung dibahas dan disahkan Pemkot Depok bersama DPRD Depok, ditolak oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Wali Kota Depok Mohammad Idris mengaku, menyesali penolakan terhadap raperda yang menurutnya dibutuhkan untuk mendukung visi dan misi Kota Depok tersebut.
“Sudah disahkan dewan, tetapi tidak disahkan oleh Kemendagri, Gubernur juga tidak mendukung, sehingga mandek di kementerian,” kata Idris dikutip dari situs pribadinya, Senin 3 Oktober 2022.
Idris mengaku heran dengan sikap Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kemendagri, yang tidak menyetujui diundangkannya Raperda PKR di Kota Depok tersebut.
“Padahal ranahnya kita tidak mengatur orang pakai jilbab atau mengatur salat itu tidak, tetapi masalah kerukunan umat beragama, kedamaian, kekompakan, dan toleransi,” jelas Idris.
Idris mengatakan, jika Pemkot Depok memiliki perda tersebut bisa melakukan sejumlah upaya seputar keagamaan. Seperti melakukan survei keberagaman umat beragama dan toleransi masyarakat.
“Jika ada perda itu, Pemkot Depok bisa mengatur belanja langsung di Badan Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan Penelitian (Bappeda) untuk survei,” katanya.
“Namun kalau sekarang kami ingin melakukan survei dan menunjuk pelaksanaannya tidak bisa karena tak punya perda, nanti akhirnya hibah, dan hibah ini sekarang ketat, syarat-syaratnya dan laporannya itu tidak main-main, harus hati-hati, bisa kejebak kita dengan permainan-permainan hibah, itu maksud dari perda ini,” imbuh Idris.
Namun begitu, Idris mengaku bakal tetap kekeuh memperjuangkan Raperda PKR itu disahkan menjadi perda sebelum masa jabatan berakhir. Dirinya akan meminta draft Raperda PKR ke Kemendagri.
“Sebelum saya turun (habis jabatan Wali Kota Depok), saya akan minta ke sana (Kemendagri), termasuk dengan menteri agama saya minta rekomendasi untuk tolong dibantu,” kata Idris.
Sebagai informasi, penolakan Raperda PKR ini bukan terjadi kali ini saja, sebelum dilakukan pembahasan, Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Depok pun sangat menentang Raperda tersebut. Karena menurutnya akan berpotensi menimbulkan konflik antarumat beragama.
“Yang dibutuhkan masyarakat adalah jaminan kebebasan dan kerukunan umat beragama. Hal-hal seperti itu yang wajib diatur dan dipastikan bisa berjalan dengan baik oleh pemkot (pemerintah kota). Bukan masuk ke dalam wilayah pribadi warga negara yang memiliki hak asasi masing-masing,” kata Ketua DPC PDIP Kota Depok, Hendrik Tangke Allo, Kamis 1 Agustus 2019.