LBH Kritik 4 Tahun Kepemimpinan Anies, Pemprov DKI: Kami Terbuka
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Pemerintah Provinsi DKI menerima kedatangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta di Balai Kota DKI Jakarta pada Senin, 18 Oktober 2021. Dalam pertemuan itu, LBH Jakarta menyerahkan rekomendasi untuk Pemprov DKI yang dipimpin Gubernur Anies Baswedan.
Asisten Pemerintahan Setda Provinsi DKI, Sigit Wijatmoko mengatakan pertemuan ini dilakukan secara mendadak sehingga belum bisa dihadiri Anies. Menurut dia, Anies akan menjadwalkan kembali pertemuan dengan LBH Jakarta.
“Saya menerima perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta beserta perwakilan warga. Karena sifatnya dadakan, saya sampaikan yakin Pak Gubernur akan menerima langsung teman-teman LBH maupun perwakilan dari warga,” kata Sigit.
Menurut dia, ledatangan LBH Jakarta adalah bagian dari penyampaian aspirasi warga untuk pemerintahan. Tentu, Pemprov DKI sangat terbuka dengan semua aspirasi dan kritik dari warga Jakarta.
“Saya sampaikan kepada mereka bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terbuka akan kritik. Kami semua memberikan kesempatan dan memfasilitasi semua warga untuk menyampaikan (kritik),” ujarnya.
Maka itu, Sigit mengatakan Pemprov DKI menerima sepuluh hal yang dicermati LBH Jakarta. Tentu, catatan tersebut akan dipelajari.
“Kami akan pelajari untuk sesegera mungkin dan kami berikan respon serta klarifikasi. Kami tentu memandang teman-teman LBH Jakarta adalah pribadi yang objektif, karenanya kami tidak ingin berpolemik dengan apa yang digagas (LBH),” jelas dia.
Pun, Sigit menjabarkan Anies menekankan seluruh jajaran untuk melakukan pembangunan dengan pendekatan yang berbeda. Salah satunya Community Action Plan (CAP), yaitu pembangunan berbasis kerja bersama warga yang menjadi perhatian teman-teman LBH.
“Meskipun (CAP) belum sempurna tapi secara pasti dikerjakan dan dituntaskan, beberapa waktu terakhir kami meresmikan berbagai bentuk hasil dari CAP tersebut,” ucapnya.
Sebelumnya, LBH Jakarta menyebut selama kurun waktu empat tahun pemerintahan Gubernur DKI Anies Baswedan, ada sepuluh laporan merah terkait kepemimpinan Anies.
"LBH Jakarta menyoroti sepuluh permasalahan yang berangkat dari kondisi faktual warga DKI Jakarta dan refleksi advokasi LBH Jakarta selama empat tahun masa kepemimpinan," kata pengacara LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sari Sirait pada Senin, 18 Oktober 2021.
Poin pertama, buruknya kualitas udara Ibu Kota melebihi baku mutu udara ambien nasional (BMUAN) yang ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999. Hal ini diyakini buntut Pemprov DKI abai melakukan langkah pencegahan dan penanggulangan.
Poin kedua, sulitnya akses air bersih di Jakarta akibat swastanisasi air. Masalah utamanya bisa dijumpai pada pinggiran kota, wilayah padat penduduk, dan lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak mampu.
Ketiga, soal penanganan banjir yang belum mengakar pada beberapa penyebabnya. Beberapa tipe banjir Jakarta masih disikapi Pemprov DKI sebagai banjir luapan sungai.
"Pada beberapa Peraturan Kepala Daerah masih didapati potensi penggusuran dengan adanya pengadaan tanah di sekitar aliran sungai," katanya.
Lalu, poin keempat adalah penataan kampung kota yang belum partisipatif. Sebagai contoh penerapan penataan Kampung Kota dengan menggunakan pendekatan CAP, yaitu Kampung Akuarium, tapi dalam penerapan tak seutuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga.
Kelima, soal ketidakseriusan dalam memperluas akses terhadap bantuan hukum. Hal ini nampak dengan kekosongan aturan mengenai bantuan hukum pada level Peraturan Daerah di DKI Jakarta.
"Keenam mengenai sulitnya memiliki tempat tinggal di Jakarta. Pada awal masa kepemimpinannya, Anies Baswedan mengeluarkan kebijakan penyelenggaraan rumah uang muka atau DP 0 persen ditargetkan membangun sebanyak 232.214 unit," ujar dia.
Kemudian, poin ketujuh adalah belum ada bentuk intervensi yang signifikan terkait persoalan yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil punya karakteristik dan kompleksitas kerentanan yang jauh
berbeda dengan masyarakat yang tinggal di wilayah lain. Poin kedelapan, terkait penanganan pandemi yang masih setengah hati.
Capaian 3T Pemprov DKI dirasa masih rendah di masa krisis. Untuk poin kesembilan adalah soal penggusuran paksa masih menghantui warga Jakarta. Perbuatan ini dijustifikasi dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki perspektif HAM.
"Kesepuluh, reklamasi yang masih terus berlanjut. Ketidakkonsistenan mengenai penghentian reklamasi dimulai ketika pada 2018 Anies menerbitkan Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang menjadi indikasi reklamasi masih akan berlanjut," kata dia lagi.