Hamparan Paya di Tengah Jakarta
- VIVA.co.id/ Willibrodus
VIVA – Petak-petak sawah membentang di bagian utara Jakarta. Tanaman padi tampak hijau di sana. Masih pendek dan belum berbulir.
Berlokasi tepat di wilayah Rorotan, Cilincing, persawahan itu eksis di balik mekarnya pembangunan Kota Metropolitan. Sawah tumbuh dikelilingi bangunan-bangunan yang terus bermunculan.
Meski terus tergerus, lahan pertanian di sana merupakan salah satu lumbung padi Jakarta. Tak hanya itu, para petani penggarap pun mengandalkan paya di sana untuk bertahan hidup.
Kandeg, misalnya. Sudah lebih dari 30 tahun, lelaki asal Indramayu, Jawa Barat itu bertani di Rorotan.
Kandeg tak sendiri. Dia menggarap sawah di sana bersama sejumlah petani lainnya. Namun, ia tak mengetahui secara pasti total petani di sana.
Menurut dia, kebanyakan petani di Rorotan berasal dari luar Jakarta. "Kebanyakan dari Jawa, kayak saya dari Indramayu dan yang lain dari daerah lain. Kalau orang asli Jakarta juga ada tapi enggak banyak, paling ada satu atau dua orang," katanya.
Pada persawahan itu, pria 48 tahun ini menggarap lima hektare. Hasil pertanian dari sawah tersebut dipanen dua kali dalam setahun.
Menurutnya, dari satu hektare sawah menghasilkan empat ton untuk sekali panen sehingga lima dapat menghasilkan 20 ton.
Untuk penjualan biasanya dihitung per kuintal. Dari lima hektare sawah garapannya, dia bisa mendapatkan 200 kuintal. Untuk satu kuintal dijual dengan harga Rp380 ribu. "Jadi kalau semuanya terjual berarti dapat Rp76 juta kalau semuanya terjual ya, tapi ini kan tidak semuanya habis terjual," kata Kandeg saat ditemui VIVA, Rabu, 13 Oktober 2021.
Namun, hasil penjualan panen itu tak begitu menguntungkan belakangan ini lantaran pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai.
"Kalau setahun kita panen dua kali. Itu juga hasil penjualannya buat makan aja, buat bertahan hidup. Apalagi pandemi sekarang ya susah," ujarnya.
Kandeg menerangkan, uang hasil penjualan padi selalu habis terpakai saat menggarap sawah lagi. "Kita harus bayar sewa lahan, beli bibit, beli pupuk, beli obat, dan bayar orang untuk bantu menggarap, dan bayar orang untuk bantu menjaga kalau padinya mau dipanen biar enggak dimakan burung. Pokoknya susah-susah juga," katanya.
Lahan Menyusut
Selama menjadi petani di Jakarta, ia melihat ladang sawah di Rorotan kian menyusut akibat pembangunan gedung-gedung besar dan perluasan permukiman warga.
"Dulu lahan sawah ini sangat besar (luas), tapi setiap tahun ada pembangunan makanya berkurang. Dulu itu sekitar 60-an hektare, tapi sekarang mungkin cuma 30-an saja," kata Kandeg.
Ia menyebutkan, pembangunan yang memaksa sawah di sana semakin menyusut itu selalu datang secara tiba-tiba. Namun, para petani tak berdaya. "Tapi kan rata-rata semua ladang ini milik perusahaan, jadi kalau ada lahannya dibeli untuk pembangunan, kita petani ini mau buat apa?" ujarnya.
Mereka hanya bisa menyaksikan lahan garapannya tiba-tiba dipagar, digusur lalu muncul bangunan baru di sana. Para petani penggarap pun tak pernah diberi ganti rugi. "Kita sekarang kerja buat makan aja, ya bertahan hidup lah," ujarnya.
Lantaran itu, Kandeg bersama para petani lainnya mengharapkan agar sawah yang tersisa di Ibu Kota ini dipertahankan. Selain untuk membantu keberlangsungan hidup para petani, juga untuk tetap memperkuat ketahanan pangan DKI Jakarta. "Kita minta jangan digusurlah, nanti kami mau cari makan di mana lagi," katanya.
Saat ini, berdasarkan SK Kementrian ATR/BPN tahun 2019, luas lahan baku sawah di Jakarta mencapai 414 hektare. "Lahan tersebut tersebar di Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Jakarta Timur," ujar Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta Suharini Eliawati, Rabu, 13 Oktober 2021.
Suharini mengungkapkan, Jakarta kini semakin maju dan bisa disejajarkan dengan kota besar lainnya di dunia. Kemajuan itu secara tidak langsung mendorong peningkatan kebutuhan pangan. Sementara ketergantungan Jakarta terhadap pasokan pangan dari daerah lain sangat tinggi.
Pemanfaatan Lahan
Di sisi lain lahan produksi pangan semakin turun sehingga perlu dilakukan upaya pemenuhan kebutuhan pangan, dengan mengoptimalkan lahan yang ada.
Selain memanfaatkan lahan sawah, produksi pangan di Jakarta juga dilakukan di lahan-lahan lain seperti pekarangan, lahan tidur, fasilitas sosial dan fasilitas umum, gang hijau, rooftop, rumah susun dan lain-lain. "Potensi lahan tersebut bisa mencapai 200 hektare," ujarnya.
Upaya lain yang dilakukan Jakarta untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah dengan melakukan produksi di lokasi potensi lainnya seperti di perkantoran, sarana ibadah, sekolah dan lainnya. "Total lokasi urban farming saat ini mencapai 648 lokasi," kata Suharini.