Mengungkap Kastel Batavia Simbol Kejayaan VOC yang Terkubur Zaman
- bbc
Suwanto mengumpulkan pecahan-pecahan keramik dan bongkahan batu berwarna kekuningan yang masih menempel di tanah suatu lapangan di pinggir Kali Ciliwung, Jakarta Utara, dengan antusias di suatu siang yang terik. Di lapangan ini, lebih dari 400 tahun lalu berdiri Kastel Batavia, simbol kekuasaan perusahaan dagang Belanda VOC di Pulau Jawa dan sekitarnya.
"Masih banyak ini barang sisa-sisa peninggalan Kastel Batavia," ujar Suwanto, yang tinggal di Jalan Tongkol, Kelurahan Ancol, Jakarta Utara.
Pecah belah itu dia kumpulkan dari sebidang tanah bekas lubang galian yang telah ditutup lagi.
Beberapa petak di lapangan dekat rumahnya itu menjadi lokasi penggalian tim arkeolog dari Universitas Indonesia pada April lalu untuk meneliti dugaan adanya sisa-sisa Kastel Batavia, yang dibangun pada abad ke-17.
Setelah beberapa bagian lapangan itu diteliti dan digali hingga satu setengah meter, dugaan itu benar.
"Di situ ditemukan susunan bata, yang jelas beda sekali dengan bata sekarang," kata Wanny Rahardjo Wahyudi, pakar arkeologi dari Universitas Indonesia yang memimpin tim penelitian di lokasi penggalian itu.
Di lokasi penggalian itu ternyata ditemukan pondasi bangunan salah satu bastion atau menara jaga Kastel Batavia. Total ada empat bastion di kastel itu. Pondasi bangunan yang ditemukan itu adalah bagian dari bastion bernama Saphir.
Menurut ahli arkeologi, seluruh bangunan kastel itu sudah lama dihancurkan, tepatnya di awal abad ke-19 ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Daendels, memutuskan untuk memperluas Kota Batavia, mengingat lingkungan di kastel sudah dinyatakan tidak sehat. Yang tersisa kini hanya pondasi-pondasi kastel di bawah tanah.
Namun baik pakar dan pemerhati sejarah berharap, walau fisiknya sudah terkubur dalam, kenangan akan Kastel Batavia bisa dibangkitkan lagi untuk memperluas pengetahuan bagi publik karena peninggalan ini termasuk bagian penting dari sejarah Kota Jakarta yang dulu bernama Batavia, sekaligus saksi dari era kolonialisme Belanda di Indonesia.
Berawal dari membuat sumur
Sebidang wilayah lapang di sudut Jalan Tongkol, Jakarta Utara, sehari-harinya lebih dikenal sebagai tempat parkir truk kontainer. Kadang lapangan seluas kurang lebih dua hektare itu jadi tempat lomba adu kicau burung. Bila hujan, lapangan yang dikelilingi rumah-rumah warga, gudang, dan deretan ruko itu menjadi becek.
April lalu, selama dua pekan, di lapangan itu digali enam lubang besar. Masing-masing lubang seukuran 4x4 meter dengan kedalaman hingga satu setengah meter.
Suwanto, seorang warga setempat, menceritakan asal mula penggalian itu.
"Tim dari Dinas Purbakala DKI datang ke sini ingin mengadakan penggalian, katanya ada kastel di sini. Sebelum itu berjalan, ada warga yang akan membuat sumur, ternyata di sumur itu ada semacam tumpukan bata yang tersusun rapih," ujar Suwanto, yang juga Ketua RT 08 RW 01 di Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara.
Lapangan luas itu aset milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan membangun rumah susun baru pada 2022. Sesuai undang-undang, sebelum proyek itu dimulai maka harus ada penggalian arkeologi untuk meneliti apakah ada benda-benda bersejarah di bawah tanah lokasi tersebut.
Sebagai Ketua RT setempat, Suwanto mengaku mendapat mandat untuk mendampingi tim peneliti selama menggali. "Dari situ tim dari Dinas Purbakala menggali, hingga ditemukanlah kastel atau bekas benteng Belanda yang dibuat sekitar tahun 1700an."
Ketua tim peneliti, Wanny Rahardjo Wahyudi, memastikan adanya penemuan setelah menggali di sejumlah titik bersama timnya - yang mereka sebut sebagai kota gali.
Wanny dan timnya tidak asal menggali. Sebelumnya mereka sudah mempelajari wilayah yang diteliti itu dengan merujuk pada peta-peta kuno. Setelah cocok, di lokasi Wanny dan tim menggunakan geo radar, 3D scanner dan drone untuk memeriksa di titik-titik mana saja yang perlu digali.
"Berdasarkan penelitian dari drone dan dibandingkan dengan overlay peta kuno dan peta sekarang, akhirya kami mendapatkan kotak gali. Kotak gali itu pertama di daerah timur laut. Di situ ditemukan susunan bata, yang jelas beda sekali dengan bata sekarang," ujar Wanny kepada BBC News Indonesia.
"Batanya besar-besar dan ada susunan bata yang sangat masif. Berdasarkan itu kami mencobanya lagi di bagian selatannya dan masing-masing kotak galinya kami buka 4x4 meter.
Di bagian selatan ditemukan juga susunan bata yang masif. Jadi kalau kita bandingkan dengan peta lama, bagian yang kami temukan itu adalah bagian dari bastion kastel yang ada di sebelah timur laut," lanjutnya, yang melapor semua hasil temuan itu kepada Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta.
Candrian Attahiyat, anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta, memastikan penemuan bastion itu. "Dari yang digali kemarin itu adalah bagian dari sampel untuk salah satu bastion.
Ternyata memang masih ada ditemukan sisa dari reruntuhan bastion, yang adalah bagian dari yang menjorok di setiap sudut sebuah benteng atau kastel."
Berdasarkan literatur sejarah, Kastel Batavia memiliki empat bastion yang semuanya dinamai batu pertama, yaitu Saphir, Parel, Robijn, dan Diamant. "Bastion yang di timur laut itu diberi nama Saphir," ujarnya.
Bastion itu diyakini menjadi tempat tinggal perwira VOC yang ditugasi menjaga pertahanan kastel. "Dalam bastion itu, dari peta-peta lama yang kami peroleh, itu adalah khusus untuk mayor. Nanti ada bastion lagi untuk kapten dan pejabat tertentu," ungkap Candrian.
Banyak temuan yang sudah hancur
Selain struktur pondasi salah satu bastion, di lokasi penggalian juga ditemukan banyak potongan keramik, pecahan botol, hingga bongkahan batu-batu berwarna kuning.
Walau lubang-lubang penggalian sudah ditutup, saat BBC News Indonesia meninjau lokasi bersama Suwanto, benda-benda itu masih banyak ditemukan - terutama potongan keramik berwarna keputihan yang bercampur tanah dan batu bata kuning.
Penemuan itu juga diungkapkan Wanny. "Memang kami menemukan keramik-keramik China, botol-botol minuman keras, lalu juga ada pipa gouda untuk mengisap tembakau, hal-hal yang biasa dikonsumsi para serdadu ketika itu.
Lalu ada botol-botol merkuri tapi yang lain-lain tidak ada. Artinya itu hal-hal yang biasa saja. Selebihnya benda-benda yang dipakai sehari-hari," ungkapnya.
Setelah diteliti Tim Ahli Cagar Budaya, Candrian mengungkapkan bahwa banyaknya potongan keramik yang ditemukan itu buatan China dan Eropa. Namun, apakah semuanya digunakan di era Kastel Batavia masih berdiri atau di era setelahnya, masih perlu diteliti lebih lanjut.
"Banyak ditemukan keramik, juga pipa rokok zaman dahulu. Cuma yang belum diungkap adalah benda-benda itu dari mana? Apa sisa dari kegiatan atau aktivitas di kastel itu sendiri atau bagian dari urugan, karena pada abad ke-19, kali yang ada di depan itu pernah digali lagi untuk dikoneksikan ke Tanjung Priok.
Dan itu adalah barangkali benteng yang sudah tidak dipakai yang juga sempat dibongkar oleh Daendels pada tahun 1808, itu diurug lagi dengan sisa-sisa dumping soil dari kali yang ada di depannya itu. Itu kemungkinannya, tapi kami belum tahu persis konteks dari temuan keramik itu terhadap kastel," ujar Candrian.
Namun, banyak temuan itu tidak ada lagi yang utuh. Sebagian besar sudah berkatagori fragmentaris, hancur, sudah terpecah.
Begitu pula dengan Kastel Batavianya sendiri. Candrian memastikan hanya tinggal sisa-sisa pondasinya yang terkubur di bawah tanah. "Tidak ada yang tersisa di permukaan tanah, semua di bawah tanah," ujarnya.
Sedangkan Wanny mengungkapkan lokasi di atas kastel itu pun "sudah dibuat bangunan berkali-kali. Itu sudah dilapisi oleh lapisan beton dan lapisan aspal yang cukup tebal."
Pakar sejarah dari Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, mengungkapkan kastel itu digunakan hingga akhir abad ke-18, sebelum akhirnya dibongkar Daendels di permulaan abad ke-19. Selain dalam rangka perluasan Kota Batavia, kastel itu pun sudah dianggap tidak layak huni bersamaan dengan mewabahnya malaria dan penyakit-penyakit lainnya.
"Jadi bekas kastel itu sangat mungkin di bagian pondasinya sudah tertutup tanah dan di bagian atasnya sudah diratakan oleh Daendels. Batunya dihancurkan, lalu dibuat untuk membangun bangunan di sekitar Lapangan Banteng yang kemudian menjadi Istana Daendels yang sekarang menjadi Kantor Kementerian Keuangan."
Jadi pusat kegiatan VOC di Asia
Dari temuan tim arkeolog itu, Bondan yakin bahwa lokasi itu menjadi saksi berdirinya Kastel Batavia.
Apalagi Kastel Batavia itu berdiri di bagian timur muara Sungai Ciliwung, yang sebelum orang-orang Belanda datang tahun 1596, di sisi bagian timur itu dulu adalah Kampung Cina. Wilayah yang mereka datangi itu masih bernama Jayakarta, yang dikuasai Kesultanan Banten.
"Menurut sumber dari Belanda, ketika mereka tiba pertama kali di pelabuhan Jayakarta, yang mereka lihat itu adalah pemukiman orang-orang China di sisi bagian timur, yang sekarang itu menjadi bekas kastel. Di situ lah kemudian Belanda untuk pertama kali membangun benteng mereka di Jawa, yang kemudian kita kenal sebagai Kastel Batavia.
Diduga sisa-sisa keramik itu berasal dari periode sebelum dibangunnya kastel di permukiman orang-orang China yang bermukim di Jayakarta, yang barang utama perdagangan mereka salah satunya adalah keramik.
"Dan ini bisa dipahami kenapa kemudian di bekas kastel itu ditemukan sisa-sisa atau pecahan keramik," ujar Bondan, yang menulis buku dalam edisi Bahasa Inggris berjudul "Beyond the City Wall: Society and Economic Development in the Ommelanden of Batavia, 1684-1740."
Begitu pula dengan ditemukannya batu-batu berwarna kekuningan.
"Sangat mungkin batu-batu yang berwarna kekuningan itu didatangkan dari luar Jawa yang dibawa oleh kapal-kapal VOC sebagai pemberat ketika mereka sampai di Jawa dan kemudian juga sekaligus juga diturunkan untuk dijadikan bahan bangunan."
Kastel Batavia itu menjadi bukti pusat kekuasaan Belanda saat mengkoloni nusantara melalui Perusahaan Dagang Hindia Timur alias VOC. Sebelum didirikan kastel, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen membangun sebuah benteng pertahanan bernama Fort Jacatra yang awalnya hanya sebuah kantor dagang VOC dan gudang penyimpanan.
Tapi dengan makin besarnya kepentingan VOC, kompleks bangunan itu diperluas dan dibuat tembok-tembok pertahanan yang tebal menjadi benteng dan akhirnya menjelma menjadi kastel.
Ini kemudian secara bertahap dikerjakan dan mungkin baru selesai sekitar tahun 1619 atau sebelumnya.
Kemudian terjadi konflik dengan penguasa Jayakarta, karena tadinya kantor dagang yang sudah terbuat dari struktur batu itu ternyata dibangun terus oleh VOC menjadi sebuah benteng.
Benteng tersebut kemudian dianggap mengancam Kesultanan Banten yang diwakili Pangeran Jayakarta yang ketika itu tidak jauh lokasinya dari kastel, yaitu di sisi bagian barat tapi lebih ke selatan.
"Ini yang kemudian kita kenal sebagai sebuah peristiwa di mana kemudian Kota Batavia berdiri pada tahun 1619, ketika konflik itu berujung pada kekalahan Jayakarta, dan kemudian diratakannya Kota Jayakarta yang lama untuk dibangun Kota Batavia yang baru. Itu peristiwa yang terjadi pada tahun 1619 dan pada tahun itu kastel sudah berdiri," ungkap Bondan.
Kastel Batavia dipandang sebagai kompleks bangunan termegah di Pulau Jawa dan meluasnya melebihi benteng-benteng yang dibuat Belanda di sejumlah tempat di nusantara. Kemegahan itu didokumentasikan dalam beberapa lukisan dalam buku karya misionaris Belanda, Francois Valentijn, berjudul "Oud en Nieuw in Oost-Indie", terbitan 1724.
Kastel itu digambarkan sebagai pusat urat nadi VOC, tidak saja di nusantara, namun juga di Asia.
Di dalam kastel itu lah gubernur jenderal tinggal dan berkantor. Kastel itu juga jadi tempat kerja Dewan Hindia untuk menjalankan pemerintahan serta menjadi pusat administrasi dan operasional VOC di Asia - yang membentang dari Tanjung Harapan di selatan benua Afrika di Samudera Hindia, lalu terus sampai Laut China Selatan hingga ke Desima di selatan Jepang.
Kastel ini penuh dengan para pejabat VOC yang sibuk setiap hari dengan berbagai kegiatan administrasi dan perdagangan yang meliputi seluruh wilayah Asia dan juga Eropa.
Bondan memberi gambaran, di masa kejayaan VOC, Batavia dihuni sekitar 45.000 orang. Dari sebanyak itu sekitar 500 hingga 1000 orang beraktivitas di kastel, meskipun tidak tinggal di dalamnya
"Jadi bisa dibayangkan Kastel Batavia ini merupakan kompleks yang maha penting bagi VOC ketika itu, di mana gubernur jenderal berkantor, begitu pula Dewan Hindia berkantor, dan birokrasi maupun berbagai kegiatan administrasi surat-menyurat yang menghubungkan Batavia dengan seluruh kantor dagang VOC di Asia dan juga menghubungkan Batavia dengan kantor pusat VOC di Negeri Belanda. Itu semuanya dikerjakan di dalam Kastel," ujar Bondan.
Bisakah Kastel Batavia jadi cagar budaya?
Walau sudah tidak tampak lagi di atas tanah sejak dihancurkan pada abad ke-19, kenangan akan Kastel Batavia bisa dibangkitkan lagi.
Tim ahli cagar budaya mengusulkan agar di lokasi puing-puing Kastel Batavia itu bisa dijadikan cagar budaya, walau Pemprov DKI merencanakan lokasi itu untuk pembangunan rusun.
Sebagian wilayah itu bisa dibuat penanda atau replika yang menandakan di tempat itu pernah berdiri Kastel Batavia.
Untuk menjadi cagar budaya, menurut Candrian, lokasi itu sudah cukup memenuhi sejumlah syarat.
"Syaratnya adalah sudah berusia 50 tahun ke atas dan syarat pertamanya sudah dipenuhi. Syarat kedua adalah bentuknya minimal sudah 50 tahun dan bentuknya sudah terlihat sebuah kastel yang sudah terlihat gayanya abad ke-17.
Dan syarat ketiga adalah punya nilai sejarah. Itu tidak bisa kita elakkan lagi, semua sejarah sudah ada."
Tinggal syarat keempat yang harus dipenuhi tempat itu untuk menjadi cagar budaya, yaitu harus punya jadi diri bangsa.
"Apa sih maknanya itu apabila nanti kita lestarikan? Ternyata kami bisa tentukan bahwa ini adalah bagian dari sejarah penjajahan di Indonesia, sehingga sisa-sisanya ini untuk mengingatkan bahwa kita jangan sampai terjajah lagi. Jadi sebuah simbol atau sebuah monumen untuk mengingatkan kita di masa depan," ujarnya.
Ade Purnama, peminat sejarah dan pendiri Sahabat Museum pun menyambut antusias. Menurut dia, Kota Tua Jakarta setiap jengkalnya bisa bercerita, ada kisah menarik tentang perkembangan Kota Jakarta pada 400-500 tahun yang lalu, dari bernama Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, Djakarta, hingga Jakarta.
"Dengan adanya penggalian arkeologi di lokasi itu, saya berharap itu dapat memberikan informasi baru atau fakta-fakta sejarah baru yang bisa melengkapi rangkaian kisah sejarah yang sudah diketahui selama ini," ujar Ade.