Massa 212 Geruduk Kedubes Prancis Besok, Buruh Demo Tolak Omnibus Law
VIVA – Dua aksi unjuk rasa akan berlangsung di Jakarta, Senin, 2 November 2020. Pertama, demo dari elemen buruh di depan Gedung Mahkamah Konstitusi terkait penolakan Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law.
Kedua, yakni demo di depan Gedung Kedutaan Besar Perancis oleh elemen Persaudaraan Alumni 212 yang mengecam pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron, yang menyinggung umat Islam.
Terkait dua aksi demo ini, Polda Metro Jaya menjelaskan kalau pihaknya tidak menerbitkan surat tanda terima pemberitahuan (STTP) terkait aksi demo besok.
"Pemberitahuannya sudah ada, tapi bagaimana pengamanannya kita siapkan saja seperti biasa," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus kepada wartawan, Minggu 1 November 2020.
Baca: Mahfud: Demo Pernyataan Presiden Macron Tak Boleh Anarki
Meski begitu, polisi menyebut pihaknya telah menerima surat pemberitahuan dari perwakilan kedua aksi tersebut. Polisi menegaskan tetap akan dan siap mengawal kedua aksi ini.
Sementara itu, terkait jumlah personel yang akan diterjunkan dalam kedua demo ini masih dimatangkan aparat. Pasalnya, jumlah personel pengamanan tergantung daripada jumlah massa yang ikut aksi.
"Di Patung Kuda sama di depan Kedutaan Prancis, (yang) mau (demo) di MK tetap kita tempatkan di Patung Kuda," katanya
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan, Presiden Jokowi telah bertemu dengan sejumlah pemuka agama dan sepakat untuk mengecam pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang dinilai telah menghina agama Islam dan melukai perasaan umat Islam di dunia.
Pertemuan tersebut dilakukan Presiden Jokowi bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin, dan para pemuka agama dari MUI, NU, Muhammadiyah, KWI, PGI, PHDI, Permabudi, dan Matakin.
Karenanya, Mahfud menegaskan demi menjaga situasi politik dan keamanan di Indonesia, pemerintah menyerukan bahwa setiap upaya mengekspresikan atau menyatakan pendapat terkait dengan apa yang dinyatakan oleh Presiden Macron itu dapat dilakukan dengan tertib dan tidak merusak.
"Karena Indonesia ini tidak ada satu institusi atau orang atau siapa pun, yang harus dianggap ikut bertanggung jawab dengan pernyataan Presiden Macron," ujar Mahfud.