Polisi Lakukan Penyekatan, Situasi Gedung DPR Sepi dan Kondusif
- VIVA/Willibrodus
VIVA – Pihak kepolisian diketahui telah melarang aksi massa buruh demonstrasi besar-besaran di depan kompleks gedung DPR/MPR RI. Pantauan VIVA, situasi sekitar Gedung DPR/MPR RI hingga saat ini terpantau sepi dan kondusif.
Kapolsek Tanah Abang, AKBP Raden Muhammad Jauhari, mengatakan Kepolisian tidak mengeluarkan izin demonstrasi lantaran DKI Jakarta masih menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah pandemi COVID-19. Untuk mengantisipasi kerumunan dari aksi unjuk rasa tersebut, pihaknya akan membubarkan titik kumpul massa aksi yang mengarah ke Gedung DPR/MPR RI.
"Kita tidak mengizinkan, karena masih dalam masa pandemi COVID-19. Kemudian, kita menjaga seluruh wilayah DKI Jakarta dan akan memubarkan titik kumpul yang ada di DKI," kata Jauhari di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat, Senin 5 Oktober 2020.
Jauhari menambahkan, langkah yang dilakukan Kepolisian untuk mengantisipasi adanya massa yang datang adalah akan menyekat jalan di sekitar lokasi ke area unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR RI. "Kita akan sekat tentunya dengan cara persuasif dulu, kita minta untuk membubarkan diri," tambahnya.
Baca juga:Â Tolak RUU Cipta Kerja, Ini 5 Alasan Partai Demokrat
Ia menegaskan, jika massa buruh tetap merangsek menuju area Gedung DPR/MPR RI, maka pihaknya bakal menindak tegas dengan sanksi sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2020Â Tentang PSBB.
Pantauan di lokasi hingga pukul 13.34 WIB, area sekitaran Gedung DPR/MPR RI masih sepi. Tidak terlihat ada pergerakan massa buruh yang dikabarkan akan menggelar aksi unjuk rasa menolak RUU Omnibuslaw.
Serikat buruh menolak keras dan tidak menyetujui hasil kesepakatan atas ketujuh isi dari draft omnibus law yang telah disepakati pemerintah bersama DPR. Pertama, mereka menolak UMK bersyarat dan UMSK yang dihapus.
Kedua buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan sisanya akan dibayar Pemerintah dari BPJS Ketenagakerjaan.
Ketiga, buru menolak PKWT atau kontrak seumur hidup tidak ada batas waktu kontrak. Keempat, mereka juga menolak sistim outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing.
Padahal sebelumnya, outsourcing dibatasi hanya untuk 5 jenis pekerjaan. Buruh menolak outsourcing seumur hidup.
Kelima soal waktu kerja yamg dinilai tetap eksploitatif. Buruh menolak jam kerja yang eksploitatif.
Keenam soal hak cuti yang hilang dan hak upah atas cuti hilang. Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang. Cuti panjang dan hak cuti panjang juga hilang.
Ketujuh soal jaminan pensiun dan kesehatan bagi mereka hilang. (ren)