TPU Kamboja, Pusara Belanda Depok Tempat Pulang Kampung
- VIVAnews/Zahrul Darmawan
VIVA – Perayaan Natal adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu umat Nasrani, dari berbagai penjuru. Sebab, selain menjadi ajang silaturahmi dan melepas rindu dengan sanak keluarga, momen bahagia itu juga menjadi ajang mendekatkan diri kepada Tuhan.
Di Depok, Jawa Barat, hari-hari bahagia itu juga dimanfaatkan oleh para keturunan kaum mardijkers atau mereka yang dulunya terkena stereotip sebagai Belanda Depok dan kini dikenal dengan sebutan Kaoem Depok.
Menurut data yang berhasil dihimpun VIVAnews, tak sedikit dari mereka yang menetap di Negeri Kincir Angin bakal memanfaatkan waktu berliburnya untuk kembali ke Tanah Air, alias pulang kampung (mudik).
Sama seperti umat Nasrani lainnya, mereka juga melakukan rangkaian ibadah di gereja hingga berziarah ke makam leluhur. Salah satu makam yang menjadi pusat pusara keturunan ‘Belanda Depok’ itu ialah TPU Kamboja yang terletak di Jalan Kamboja, Kecamatan Pancoran Mas, Depok.
Di tempat tersebut, ada ribuan makam yang diisi warga Belanda dan Kaoem Depok, bahkan beberapa di antaranya, diperkirakan telah berusia ratusan tahun. Sayangnya, sebagian telah hilang dengan berbagai faktor, salah satunya akibat dicuri.
“Di sini cukup banyak, ada 1.000 lebih makam khusus Nasrani. Banyak yang asli Kaoem Depok. Tadinya makam tuanya banyak, tetapi dulu banyak yang batu nisanya dicuri, jadi marmernya diambilin,” kata penjaga makam, Jacob Loen, saat ditemui pada Rabu 25 Desember 2019
Pria berusia 70 tahun itu mengakui, setiap perayaan Natal tiba, TPU ini pun akan ramai didatangi para peziarah. Beberapa dari mereka, bahkan ada yang sengaja datang dari Belanda.
“Setiap tahun kalau Natal atau tahun baru pasti nyekar, karena makam orang tua. Biasanya pagi ibadah dulu di gereja, baru ke sini,” ucap Jacob yang mengaku telah 20 tahun menjaga makam di TPU tersebut.
Jeffry William Van Sornsen de Koste, salah satunya. Pria paruh baya keturunan Kaoem Depok ini pun mengaku biasa mengajak keluarga besarnya untuk berziarah ke makam leluhur saat Natal dan Tahun Baru.
“Ya, kalau kita sih tiap tahun itu pasti Natal dan Tahun Baru ke kuburan orang tua, ziarah dari dulu atau saat ulang tahun orang tua kita, pasti ke sini (makam),” kata Jeffry, yang datang ditemani menantu serta anak cucunya.
Ia pun mengakui, pada momen Natal ini, keluarga besarnya yang berada di Belanda, akan ikut berkumpul di Depok. “Iya biasanya kami semua kumpul. Nah, keluarga saya yang dari Belanda pun ada yang pulang ke sini (Depok),” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Sejarah Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC), Ferdy Jhonatans mengatakan, selain memanjatkan doa untuk mereka yang telah meninggal, kegiatan ziarah ke TPU Kamboja adalah salah satu upaya mengingat kembali jasa-jasa para leluhur.
“Kami rutin, sebelum tanggal 25 Desember pasti datangi makam Kamboja dan membersihkannya untuk mengingat jasa-jasa mereka selama hidup,” tuturnya.
Ferdy mengatakan, makam Kamboja adalah merupakan makam tertua di Kota Depok, dan telah tercatat sebagai salah satu cagar budaya yang harus dilestarikan. “Yang ke sini bukan hanya mereka yang tinggal di Depok, tetapi ada juga yang datang dari Belanda, sengaja datang. Perkiraan saya, ada lima persen yang dari luar bakal pulang kampung kalau Natal,” tuturnya.
Lebih lanjut, Ferdy mengaku meski stereotip Belanda Depok yang selalu disematkan kepada Kaoem Depok, nyatanya perayaan Natal selalu berjalan damai tanpa ada hambatan, “Tidak ada ya, kuncinya karena kami minoritas ya, harus mengakui juga, saling menghormati.”
Asal usul Belanda Depok
Untuk diketahui, asal-usul Depok, memang tak terlepas dari peran pejabat VOC bernama Cornelis Chastelein, pria kelahiran Amsterdam, Belanda, 10 Agustus 1657. Cornelis adalah keturunan Prancis berdarah biru alias bangsawan. Ibunya, Maria Cruydenier, warga Belanda, anak wali kota Dordrecht.
Di usia 17 tahun, bungsu dari delapan bersaudara itu mengawali kariernya di VOC, kemudian ikut ekspansi ke Batavia, dengan kapal Huis te Cleeff, pada 24 Januari 1675. Cornelis dan rombongan tiba di Batavia pada 16 Agustus di tahun yang sama. Ia, kemudian bertugas di bagian administrasi atau pembukuan pada Kamer van Zeventien.
Cornelis tumbuh menjadi pria dewasa, dengan karier yang terus merangkak naik. Sekira tahun 1682, ia sukses menjadi pengusaha besar dan menikah dengan Catharina van Quaelborg dan memiliki seorang putra bernama Anthony. Dia diketahui juga memiliki putri angkat berdarah campuran (Indo) bernama Maria.
Cornelis, lalu mengundurkan diri dari pekerjaannya di VOC. Kemudian, ia mendapatkan hak tanah di antaranya di Sringsing, sekarang Serengseng Sawah, Jakarta Selatan, lalu Weltevreden (Gambir, Jakarta Pusat). Pada 18 Mei 1696, Ia juga membeli lahan seluas 1.244 hektare.
Berdasarkan persil atau surat tanah seluas 1.244 hektare itu bernama Depok. Dengan tanah yang cukup luas, Cornelis, kemudian berinisiatif menjadikan Depok sebagai kawasan pertanian. Bahkan, ia juga membuat hutan kota tertua yang terletak di kawasan Pitara, Kecamatan Pancoran Mas, yang kini disebut Cagar Alam.
Karena ingin memproduksi hasil bumi seperti kopi, padi, dan sebagainya, Cornelis membawa sekira 150 budak yang dianggap mengerti tentang pertanian. Mereka didatangkan dari Bali, Makassar, dan Ambon. Mereka itulah yang akhirnya asal usul penyebutan Belanda Depok.
Kala itu, mereka siang hari bekerja dan malam harinya diajarkan cara-cara agama Kristen. Saat itu, para budak tersebut hidup dari lahan pertanian yang sekarang ini di pinggiran Ciliwung, sekitar Jalan Kartini, Jalan Pemuda, sampai area kantor Wali Kota Depok, yang kala itu area persawahan.
Selain aktif menyebarkan agama Kristen, Cornelis gencar memberikan pendidikan bagi para budaknya. Ia, bahkan sempat mengajarkan sistem ekonomi. Bukti dari pengaruh Cornelis salah satunya ialah Gereja Immanuel yang terletak di samping gedung YLCC, Jalan Pemuda Depok, Kecamatan Pancoran Mas.
Sebelum wafat pada 28 Juni 1714 (di usia 56 tahun), Cornelis sempat menulis surat wasiat atau testament kepada seluruh budaknya yang berbunyi: Vrijgegeven lijfeigenen benevens haar nakomelingen het land voor altijd zouden bezeeten ende gebruyke, yang artinya tanah ini dihibahkan kepada setiap dari mereka, berikut keturunannya dengan kepemilikan sepanjang diperlukan.
Tak hanya itu, Cornelis juga memberikan mereka lahan, rumah, hewan, dan alat-alat pertanian, demikian tertulis dalam surat wasiatnya.
“Jadi, sebelum wafat, dia sudah menulis surat wasiat yang menyebut para budaknya itu dimerdekakan dan diberi tanah yang namanya Depok. Makanya, mereka merasa terlahir,” kata Ketua Umum Depok Herittage Community, Ratu Farah Diba.
Mereka (para budak) itu, kemudian dibagi menjadi 12 marga, yakni marga Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadokh. Namun, kini hanya menjadi 11 marga.
“Satu marga sudah enggak ada, yakni Zadokh, kan enggak ada lagi keturunannya,” jelas Ratu Farah.
Tepat di hari kematian Cornelis Chastelin, sejumlah keturunan dari 11 marga yang sekarang dikenal dengan sebutan Kaoem Depok itu pun hingga kini masih memberi penghormatan dengan berbagai kegiatan seperti menggelar doa bersama di Gereja GPIB Immanuel yang merupakan gereja tertua di Depok, berlokasi Jalan Pemuda, Kecamatan Pancoran Mas, Depok.
Ritual itu rutin diperingati pada hari kematian Cornelis Chastelin, yakni 28 Juni. “Iya, mereka kan menganggap dirinya terlahir, ketika Chastelin wafat terus dibacakan mereka dimerdekakan. (asp)