Minimnya Sarana Belajar untuk Anak Berkebutuhan Khusus di Bekasi

Anak-anak berkebutuhan khusus di Kota Bekasi saat sedang mengikuti pelajaran.
Sumber :
  • VIVAnews/ Dani.

VIVAnews - Mengenyam pendidikan bagi seluruh anak-anak berkebutuhan khusus di Kota Bekasi seperti mendapat perlakuan diskriminatif. Hal itu terlihat dari sarana belajar yang diterima anak-anak dengan IQ rendah berbeda dengan sekolah pada umumnya. Tanpa ada perhatian hingga berakibat kumuh.

Pendidikan Jadi Prioritas Utama Pemerintahan Prabowo, Bangun SDM Indonesia Unggul

Bahkan, beberapa pekan lalu tepatnya pada 25 September 2019, bangunan sekolah luar biasa (SLB) tipe C Pariwisata Bundaku yang terletak di RW 11 Perumahan Taman Wisma Asri, Kelurahan Teluk Pucung, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, ambruk. Wajar kondisi bangunan itu roboh, karena kondisinya sudah rapuh, dan keropos. Bahkan, usia bangunan itu dikabarkan sudah hampir 35 tahun belum pernah direnovasi si pemilik.

"Pekan depan untuk sementara anak-anak belajar pindah di Pos RW 12 depan Alun-alun Taman Wisma Asri," kata Kepala SLB Tipe C Parisiwata Bundaku, Anggraeni Puspa Sari, Jumat 18 Oktober 2019.

PLN UIP KLT Ubah Hidup Masyarakat Desa Terpencil Melalui Pendidikan

SLB Pariwisata Bundaku berdiri di lahan seluas 200 meter eks taman kanak-kanak. Pengelola menyewa lahan itu sejak 2008 lalu, dan baru beroperasi tahun 2012. Kondisinya masih utuh yakni tiga lokal ruangan. Tidak ada yang diubah dari tata letak desain. Semuanya masih menggunakan bangunan lama.

Lokasi dari SLB Pawisiata Bundaku sebenarnya cukup jauh dari pusat kota. Kira-kira 30 menit waktu tempuh perjalanan dari pintu keluar tol Bekasi Barat. Sesampai di lokasi, bangunan sekolah itu ada di sekitaran hook di Jalan Anggur Blok D Perumahan Taman Wisma Asri. Pemandangan tak enak di mata sudah tumbuh saat berada di pagar sekolah yang kusam.

Prabowo Sebut Anggaran Pendidikan Tahun 2025 Paling Tinggi Sepanjang Sejarah RI

Cat dari bangunan itu sudah pudar. Pagar catur yang mengelilingi sekolah itu juga sudah tak terawat. Kusen pintu hingga lataran yang kurang bersih juga menjadi pemandangan tak sedap setiap pengunjung yang mendatangi sekolah itu.

Bahkan, puing-puing genting bekas robohan pada 25 September 2019 lalu masih berserakan di halaman. Padahal, sistem belajar anak-anak berkebutuhan khusus itu lebih mengedepankan belajar di luar kelas ketimbang di dalam kelas.

Sebenarnya, sekolah yang memiliki 15 siswa (SD, SMP, SMK) itu belum memiliki izin operasional. Bukan masalah ketidakinginan pengelola untuk mengurus. Akan tetapi karena faktor perizinan yang jelimet dan masalah pembiayaan yang cukup mahal. Apalagi, izin itu harus diurus di Provinsi Jawa Barat.

"Syaratnya kan harus memiliki lahan 1000 meter, dan memiliki tiga ruang kelas. Bagaimana saya bisa membeli lahan di kota yang sudah mahal harga tanahnya. Saya enggak punya uang sebanyak itu," kata Anggraeni.

Apalagi, untuk beban biaya setiap wali murid tidak terlalu dipaksa. Pengelola hanya mematok biaya Rp500 ribu per bulan. Namun, setiap siswa tidak mampu, sekolah tidak pernah mematok biaya full. Biasanya beban SPP hanya diterima separoh untuk siswa kurang mampu.

Setiap pagi, seluruh anak-anak berkebutuhan khusus itu sudah belajar. Tiga tenaga pengajar yang setia menemani seluruh siswa tersebut. Bukan hanya keterampilan untuk menjadi seorang guru di sekolah itu. Akan tetapi kesabaran dan panutan yang harus ditumbuhkan para guru-guru di situ.

Meski sudah beberapa pekan atas kejadian atap roboh, Anggareni mengaku banyak orangtua murid yang sudah mulai ketakutan. Sebab, mereka dibayangi musim hujan yang sebentar lagi datang. Sementara ruang belajar yang dipisahkan hanya sekat triplek sudah ambruk. Air sewaktu-waktu bisa mengguyur murid yang sedang belajar. Dan tentu akan membahayakan murid karena banyaknya instalasi listrik.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Bekasi Inayatullah mengatakan tak bisa berbuat banyak karena SLB Bundaku tak berizin. Tetapi, kata dia, akan mengawal proses pembuatan izin hingga ke tingkat provinsi.

"Kalau sudah ada izinnya mungkin bisa dibantu. Karena kalau tidak ada legal formal apa dasarnya," katanya, Jumat 18 Oktober 2019.

Inay berharap, proses belajar mengajar akan dialihkan ke kantor RW 12 daerah sekitar. Sehingga, kegiatan belajar siswa tidak akan terganggu. "Kita membantu proses belajar mengajarnya tetap bisa berjalan, jangan sampai terlantar," tuturnya.

Minim SLB Negeri

Masih di tempat yang sama, Titi Suratri (50 tahun) salah seorang wali murid di SLB Pwriwisata Bundaku sangat berharap pemerintah daerah bisa membangun sekolah luar biasa (SLB) di tiap-tiap kecamatan. Sebab, keberadaan SLB negeri hanya ada satu di Kota Bekasi yakni di Kecamatan Bekasi Timur.

"Kalau cuma satu bagaimana nasib kami yang jauh dengan SLB negeri," katanya.

Menurut dia, kehadiran bangunan SLB Negeri cukup dinanti bagi orang tua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus. Alih-alih bisa membantu meringankan untuk biaya sekolah anak sendiri.

"Kita kan juga ingin disamakan seperti sekolah negeri pada umumnya yang gratis, kalau sekarang hanya satu saja di Bekasi Timur. Minimal seharusnya setiap kecamatan ada SLB Negeri," katanya.

Sejauh ini, Titi harus membayar SPP per-bulan untuk anak tercintanya itu. Putranya yang bernama Ridho itu kata dia telah menempuh pendidikan di SLB tipe C Pariwisata Bundaku selama delapan tahun.

"Dari TK sampai sekarang sudah SMP, ya saya harus membayar SPP setiap bulannya. Makanya pembangunan SLB Negeri itu penting menurut kami untuk meringankan ekonomi. SLB di Kota Bekasi sedikit ya, kalaupun ada ya biayanya cukup lumayan," kata Titi.

Bukan itu saja, dia juga berharap pemerintah daerah bisa menyediakan taman bermain bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Hal itu untuk menjauhkan adanya perbuatan bullying yang selama ini kerap menimpa anak berkebutuhan khusus. "Kalau disatuin itu (dengan anak normal) belum ramah bagi anak berkebutuhan khusus," ujarnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya