Wisata Miskin Jakarta, Tak Sekadar Jual Kemiskinan
- ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
VIVA – Orang miskin di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik memang tinggal sedikit. Maret 2019, BPS mencatat penduduk miskin Indonesia sebanyak 25,14 juta jiwa atau 9,41 persen dari total penduduk Indonesia. Dari komposisinya, kemiskinan di kota masih lebih rendah dibanding pedesaan.
Karenanya jangan heran jika kita masih menemukan orang-orang hidup seadanya di sudut-sudut kota. Jakarta, salah satunya. Megnet ibu kota membuat orang rela dengan penghasilan seadanya tinggal di kawasan-kawasan kumuh.
Ronny Poluan, penggagas Jakarta Hidden Tour, menyebut kemiskinan, khususnya di Jakarta, sebagai skandal. Karena si miskin dan si kaya terlihat jelas batasnya. "Yang miskin banyak banget di Jakarta, dan orang kaya juga kaya banget. Si kaya bisa punya Ferrari, kapal pesiar, helokopter. Sedangkan si miskin bertebaran di bawah kolong rel kereta, di pinggir kali," kata Ronny dalam perbincangan dengan VIVAnews di pertengahan Agustus 2019 lalu.
Namun di mata alumni Institut Kesenian Jakarta ini, kemiskinan tetap terlihat seksi. Karenanya dia mengemas kemiskinan dalam komodisi wisata yang sasarannya jelas bukan penduduk lokal, tapi wisatawan mancanegara.
"Saya melihat kemiskinan ini bukan hanya di Jakarta, melainkan seluruh dunia. Ini suatu kegagalan manusia," kata Ronny.
Ronny secara gamblang mengatakan, bahwa apa yang ia lakukan dengan Jakarta Hidden Tour merupakan protes keras terhadap pemerintah. Di sisi lain, persoalan kemiskinan di Ibu Kota juga merupakan refleksi untuk dirinya dan untuk semua orang.
"Tidak hanya kritik, tapi protes keras terhadap pemerintah siapapun selama ini. Termasuk protes kepada diri saya sendiri. Dalam konsitusi kita yang mengurus orang miskin seharusnya pemerintah,” ujar dia.
Berbicara kemiskinan di Jakarta, diakui Ronny dari memang sedikit ada kemajuan dalam angka kemiskinan. Namun ia tetap miris karena kemiskinan tidak sama sekali bisa dihilangkan.
"Kalau dilihat perkembangan dari data BPS kan ada kemajuan, dari pemerintahan sebelumnya di 13 persen, 11 persen, sekarang tinggal 9 persen, ada kemajuan. Anda bayangkan 9 persen dari sekian penduduk Jakarta, masih banyak dan masih menyedihkan," kata dia.
Pria kelahiran 1953 itu pun menjelaskan, bahwa ada dua cara untuk memberangus kemiskinan. Lewat political will dan internasional pressure.
VIVAnews pun sempat mengintip interaksi Ronny dengan wisatawan mancanegara dan warga di daerah Penjaringan Jakarta Utara. Ia tampak sibuk memberikan penjelasan kepada tamunya di tengah padatnya rumah warga.
Bagi Ronny, usaha yang ia lakukan lewat Jakarta Hidden Tour bukan lagi sekadar wisata, ia tak peduli dianggap menjual kemiskinan. Pertemuan budaya, persoalan kemanusiaan lebih besar dibandingkan sekadar wisata kemiskinan di Jakarta.
"Progres Jakarta Hidden Tour sangat luar biasa, ada terus yang datang. Manfaat paling besar adalah pertemuan budaya, sosial interaksi antara partisipan saya. Saya katakan kepada partisipan saya, you are not my tourism, but you are my partisipan. Jadi saya tidak mengatakan ia turis saya, tapi partisipan saya. Pertemuan interkultur terjadi, dari tamu dan warga, itu yang paling penting, mereka bisa ngomong pakai berbagai bahasa dan nyanyi," ujar Ronny dengan rambut putihnya yang tampak gondrong.
"Si tamu juga bisa nenteng, bawa baju, dan lainnya. Pada beberapa kesempatan, masyarakat bilang ke saya, Pak Ronny mushalla kita begini, satu saat saya ngmong sama tamu saya dan dia bantu. Ini bukan persoalan agama nih, tapi kemanusiaan," jelasnya.
Kepada VIVAnews, Ronny blak-blakan soal biaya wisata yang ia terima. Sejak awal dibentuk 11 tahun lalu, tepatnya 2008, ia mematok harga kepada bule yang berkunjung sebesar Rp250 ribu per orang. Biaya itu dimanfaatkan untuk memberikan pemasukan kepada pemilik kendaraan umum di Jakarta sebagai uang sewa. Tak lupa diberikan kepada masyarakat di lokasi wisata.
"Biaya Rp250 ribu per orang, itu kan buat bayar Metro Mini, tukang becak dan lainnya. Nanti kalau ada bule bicara sama warga kita juga kasih warganya. Intinya memberikan pemasukan juga kepada masyarakat. Sekarang bisa sampai Rp750, bahkan saya mau naikkan sejuta," ungkapnya.
Namun 'wilayah operasi' Ronny kini menciut. Beberapa kawasan yang semula menjadi sasaran wisatanya, seperti Senen, Tanah Abang, dan kawasan bantaran Kali Ciliwung kini tidak ada lagi karena penggusuran. Penghuni kawasan kumuh di daerah itu sudah dipindahkan ke rusun-rusun penampung.
"Tadinya saya membuat mengenai emergency, bisa kita datangi dokter, perawat. Tapi di tempat utama saya terjadi penggusuran seperti Senen, Tanah Abang, Ciliwung digusur," kata Ronny yang sempat dianggap 'musuh' penguasa ibu kota karena dianggap mempertontonkan dan menjual kemiskinan.
Namun perlahan pemerintah provinsi DKI Jakarta mulai memahami apa yang dilakukan Ronny. Mayoritas tempat yang menjadi spot Jakarta Hidden Tour sempat didatangi Presiden Jokowi. Bahkan pejabat dari Kementerian Sosial menawarkan bantuan.
Karenanya ketimbang pindah ibu kota, Ronny menilai lebih naik pemerintah memperhatikan orang miskin di Jakarta. "Beresin dulu kemiskinan, penting. Karena ini adalah fondasi dasar dari kemajuan negara dan bangsa. Boleh kita hebat, punya gedung tinggi dan lainnya, tapi kalau masih banyak yang miskin, tidak ada artinya," ucapnya.
Sebagai penyambung lidah rakyat, bagi Ronny ia butuh uang untuk orang miskin. "Saya sudah pikir-pikir, hanya pemerintah dan orang kaya yang bisa membantu orang miskin," dia menambahkan.
Diprotes
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakart Edy Junaedi angkat suara soal jualan wisata miskin Jakarta. Dia geram dengan aksi Ronny. "Sangat tidak merekomendasikan. Kenapa harus menjual yang seperti ini? Di Jakarta ini begitu banyak venue. Itu menurut saya sih tidak termasuk wisata ya. Nilai lebihnya apa?" ucap dia.
Dari data yang dia miliki, ada banyak kawasan wisata di Ibu Kota negara. Karenanya dia heran, apa yang dijual dari kemiskinan.
"Kalau dia judulnya mau charity ya sudah, enggak usah dibungkus sebagai wisata kemiskinan. Itu kan suatu hal yang sangat kontradiksi. Wisata kok kemiskinan. Kalau wisata itu ya pleasure. Enggak usah pakai atribut wisata lah kalau yang kayak gitu. Kalau untuk charity, traveling sih ya silakan, boleh, tapi bukan wisata," cetusnya.
Edy khawatir, dengan adanya penjualan wisata kemiskinan ini membuat citra Jakarta di mata dunia tercoreng. Apalagi wisatawan yang diajak ke lokasi tersebut merupakan turis asing. Dia menjelaskan, jika ada pihak-pihak yang terganggu dengan kegiatan tersebut maka akan ditindak oleh dinas terkait.
"Kalau memang mengganggu ketentraman, ada yang merasa terganggu, bisa saja ditindak. Yang jelas, kita juga menyayangkan karena tidak ada koordinasi dengan pemerintah provinsi juga ya. Kalau ke dinas pariwisata sih sudah jelas tidak ada koordinasi,” tegas dia.