Soal Kota Ramah Anak, Depok Dikritik Masih Sebatas Jargon

Arist Merdeka Sirait, Komnas Perlindungan Anak
Sumber :
  • VIVA/Zahrul Darmawan

VIVA –  Pegiat dari Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengingatkan Pemerintah Kota Depok agar lebih serius dalam memperhatikan persoalan tersebut, dan bukan malah menyebar jargon serta mengejar sertifikat atau pengakuan sebagai Kota Layak Anak (KLA).  

2030 Indonesia Targetkan Jadi Negara Layak Anak

Arist mengatakan, secara pribadi dirinya melihat hal ini dalam dua sisi. Pertama sebagai warga di Kota Depok yang tentu memliki kepedulian dengan berbagai masalah anak. Dan sisi lainnya adalah posisinya sebagai pimpinan organisasi atau institusi yang memberikan perhatian secara khusus terhadap anak-anak di seluruh Indonesia.

“Dari dua posisi itu saya melihatnya bahwa Kota Depok itu masih berjalan pada jargon-jargon. Nah jargon-jargon itu seolah-olah prestasi madya kemudian. Masih seperti itu. Itu yang mau kita mau kritik dari dua sisi tadi,” katanya saat ditemui di Balai Kota Depok pada Kamis 8 Agustus 2019

Depok di Posisi Keempat Kota Tak Ramah Anak

Dari sudut masyarakat, kata Arist, dirinya belum bisa melihat langkah nyata pemerintah setempat. Pemerintah Kota (Pemkot) hanya berlomba-lomba mengumumkan penghargaan dan jargon.

Padahal, masyarakat secara sosial masih membutuhkan pembimbingan dan pembinaan untuk memahami rumah tangga yang ramah anak. “Karena puncak dari sebuah kota layak anak itu kalau di rumah, kemudian lingkungan sosial, RT, RW, kecamatan itu sudah layak betul, barulah predikat di kota atau kabupaten mendapatkan menuju kota layak anak,” ujarnya.

Kenali Kriteria Kota Ramah Perempuan dan Anak

Arist mengungkapkan, untuk menuju kesana (layak anak), ada 31 indikator yang harus dipenuhi. Diantaranya adalah hak atas pendidikan dan bukan hanya infrastruktur, tetapi yang paling penting adalah membangun mental, mindset terhadap apa yang menjadi tanggungjawab rumah tangga.

“Karena keluarga adalah garda terdepan untuk melindungi anak. Jadi kalau garda terdepan untuk melindungi anak belum ramah dan belum bersahabat dengan anak, itu hanya jargon saja,” katanya

Kondisi saat ini, kata Arist, pemkot seakan bangga dengan sertifikat. “Pada hari anak nasional diserahkan sertifikat untuk ramah anak dan sebagainya. Bukan itu maksud dari layak anak. Layak anak adalah mindset, pola pikir dari masyarakat bagaimana menempatkan anak dalam keluarga itu adalah tanggungjawab keluarga,” paparnya

Menurut Arist, sudah sewajarnya warga Depok menuntut kepada dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di bawah koordinasi wali kota untuk memberikan parenting skill, pendidikan keluarga.

“Karena sekarang ini keluarga diserang dengan berbagai persoalan termasuk gadget, termasuk problem-problem sosial ekonomi dan sebagainya. Oke proses politik sudah selesai tapi proses ekonomi itu akan memunculkan kekerasan di lingkungan rumah,” ujarnya menambahkan.

Dirinya mencontohkan, belum lama ini terjadi kasus seorang ayah mengajak buah hatinya bunuh diri. Menurutnya, peristiwa itu terjadi karena faktor kemiskinan, fenomena sosial yang tidak bisa diatasi dalam keluarga maka anak lah yang sangat rentan menjadi korban-korban kekerasan.

“Jadi kota layak itu jika tidak diimbangi dengan turunnya kekerasan, diimbangi pola pikir mindset terhadap keberadaan anak. Depok Ini masih sekadar jargon agar ada predikat bisa diumumkan kepada masyarakat seolah-olah sudah berhasil,” ujarnya

Contoh lainnya yang disebutkan Arist ialah belum adanya perhatian serius terhadap Ruang Publik Terpadu Ramah Anak atau RPTRA. Beberapa yang sudah adapun kondisinya sangat memprihatinkan dan belum layak untuk anak-anak.

“Beberapa tempat lihat aja penerangan enggak ada di situ karena itu hanya simbol saja. Oh Depok sudah kota layak anak karena ada RPTRA. Padahal itu belum 30 persen dari yang dibutuhkan,” tuturnya

 Seharusnya, 30 persen dari pembangunan fasilitas umum, itu adalah RPTRA atau RTH (ruang terbuka hijau). Di beberapa pilot project, seperti yang terdapat di Cimanggis, pun masih belum layak.

“Itu lihat saja kalau sudah jam 8 malam tidak ada lampunya. Jadi orang yang nongkrong di situ bukan anak-anak tapi para remaja yang kecenderungan akan menjadi korban kekerasan dan korban seksual,” ucap Arist

 Padahal, menurutnya, tujuan dari ruang terbuka ramah anak itu dalam kerangka memberikan kesempatan pada anak, baik itu kegiatan siang maupun malam.

“Tapi lihat saja malam, enggak ada penerangan, sangat potensial terjadi kekerasan. Itu dilihat dari perspektif perlindungan anak. Jadi masih sangat buruk,” katanya. (ren)

Puskesmas di Semarang buat taman bermain anak

Usaha Kota Semarang Wujudkan Impian jadi Kota Layak Anak

Ada banyak hal yang dilakukan Semarang untuk menuju Kota Ramah Anak

img_title
VIVA.co.id
17 September 2019