Soal Pembangunan LRT, JK Disarankan Konsultasi dengan Jokowi
- ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
VIVA - Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Arya Sinulingga, melihat tidak ada masalah dari kritik yang dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait pembangunan Light Rapid Transit (LRT) dan proyek lainnya. Menurutnya, mantan ketua umum Partai Golkar itu hanya menyoroti satu atau dua dari banyak proyek infrastruktur yang dikerjakan selama pemerintahan Jokowi.
Apa yang dikatakan JK, kata dia, juga baik sebagai bentuk koreksi dan bukan menutupi jika terjadi kekurangan.
"Kalau zaman dulu tidak mungkin itu. Jadi itu dari dalam disampaikan terbuka, ya itulah suaranya Pak JK juga," ujar Arya saat dihubungi, Jumat, 25 Januari 2019.
Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai kritik dari Wakil Presiden Jusuf Kalla tak elok disampaikan di depan publik. Kritik yang disampaikan JK kurang tepat mengingat statusnya sebagai bagian dari pemerintah.
"Alangkah baik dan bijak jika Pak JK tidak mengkritik pemerintah. Karena beliau bagian dari pemerintah itu sendiri," ujar Ujang.
Yang mestinya dilakukan JK, kata Ujang, berkonsultasi dengan Presiden Jokowi terkait terkait kritik masalah pembangunan Light Rapid Transit (LRT) dan proyek lainnya tersebut. JK yang juga mantan pengusaha dinilai mampu memberi masukan positif karena memiliki pengalaman yang tak diragukan.
Ujang mengatakan kritik JK itu juga harus dianggap bukan sebagai kesalahan pembangunan, tapi justru menyampaikan agar ke depan dilakukan hal yang sifatnya memperbaiki. Apalagi kritik itu terkait inefisiensi proyek yang nilainya besar.
"Pak JK tokoh bangsa yang berpengalaman. Kredibilitasnya diakui dunia," kata Ujang.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkritik pembangunan kereta ringan atau light rail transit (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek). JK menilai pembangunan ini tidak efisien.
Moda transportasi yang merupakan tanggung jawab pemerintah pusat serta dibangun BUMN PT Adhi Karya itu dibangun untuk menghubungkan Jakarta dan kota-kota satelit melalui rel melayang (elevated).
Menurut JK, inefisiensi pertama bisa dilihat dari keputusan pembangunan rel secara melayang. Padahal, harga tanah yang tidak terlalu mahal di perbatasan Jakarta dan wilayah-wilayah di luar Jakarta bisa membuat pembangunan rel reguler dilakukan dengan lebih murah.
Inefisiensi kedua adalah pembangunan rel tepat di samping jalan tol Jakarta-Cikampek. JK menyampaikan bahwa infrastruktur kereta ringan biasanya dibangun di lokasi berbeda dengan infrastruktur perhubungan yang sudah ada.
JK menegaskan, inefisiensi-inefisiensi itu membuat biaya pembangunan melambung tinggi, mencapai Rp500 miliar per kilometer. Adhi Karya pun diperkirakan akan sulit mengembalikan modal investasi.