'Uang Bau' Tak Memadai, Kisah Warga Bantar Gebang Terdampak Bau Sampah
- ANTARA FOTO/Risky Andrianto
Meski telah mendapat dana kompensasi dampak bau sampah, sejumlah warga Bantar Gebang, Bekasi, mengeluhkannya. Pasalnya, `duit bau` yang diterima tidak sebanding dengan dampak yang dialami warga.
Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi, Jawa Barat, merupakan salah satu tempat pembuangan terbesar yang ada di Asia, dengan luas lebih dari 110 hektar.
Tiap harinya, 9000 ton sampah dikirim ke Bantargebang, 7000 ton diantaranya merupakan sampah dari ibukota Jakarta yang berjarak 25 kilometer dari Bantargebang.
Bau menyengat keluar dari gundukan-gundukan sampah ke kawasan tempat tinggal warga di sekeliling.
Meskipun terletak di Kota Bekasi, status tanah dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemprov DKI berkewajiban membayar kompensasi untuk ribuan keluarga yang tinggal di sekitar daerah Bantar Gebang sebagai ganti rugi dari dampak bau sampah.
`Uang bau,` begitu mereka menyebutnya, mereka terima setiap tiga bulan sekali dengan besaran Rp600.000. Artinya, tiap bulan mereka mendapat jatah Rp200.000 sebagai ganti rugi dari dampak bau sampah Bantar Gebang.
Meski telah mendapat dana kompensasi, sejumlah warga Bantar Gebang mengeluhkannya dan menyatakan uang yang mereka terima tak sebanding dengan apa yang mereka alami setiap hari.
"Belum cukup. Risikonya tuh besar, masalah kesehatan buat kitanya. Pokoknya belum cukup sepadan, takutnya kan ada kejadian longsor, banjir, apa gitu," tutur seorang warga yang tinggal hanya berjarak sektiar 300 meter dari titik pembuangan sampah Bantar Gebang, Elisa, kepada BBC News Indonesia.
Perempuan berusia 28 tahun ini tinggal di Bantar Gebang sejak 2008 setelah menikah dengan suami yang bekerja di sebuah pabrik di Bantar Gebang.
Untuk menghidupi keluarga, dia membuka warung makan tak jauh dari rumahnya.
Aroma sampah, kerap kali tercium di warungnya, belum lagi lalat-lalat yang beterbangan. Untuk menjaga kebersihan warung, Elisa terpaksa merogoh kocek lebih dalam untuk membeli disinfektan.
"Tiap hari, tiap kali beres-beres warungnya disemprot-semprot dengan yang wangi-wangi supaya nggak terlalu menyengat ke warung juga," ujar Elisa.
"Berhubung saya jual nasi kan kebersihannya harus ekstra. Makanan juga harus ditutup," lanjutnya.
Dia menambahkan bau sampah menyengat tercium ketika musim hujan datang, seperti yang terjadi saat ini.
"Kalau cuacanya lagi kaya gini, ujan, kadang menyengat, kaya bau busuk," ungkapnya. Saat BBC News Indonesia datang menemuinya, kondisi memang tengah hujan.
"Blenger, pusing kepalanya"
Dia pun berharap dana kompensasi bau ditambah untuk menjaga kesehatan mereka.
"Kan istilahnya kita ngehirup udara yang nggak sehat, maunya kaya gitu," imbuh warga yang tinggal di kelurahan Cikiwul ini.
Ada tiga kelurahan yang ada di sekitar TPST Bantar Gebang, namun dana kompensasi yang diterima masing-masing kelurahan sama.
Hal ini membuat Kaci, warga kelurahan Ciketing Udik, lokasi yang berdekatan langsung dengan TPST Bantar Gebang, menganggap `duit bau` itu tidak sebanding.
Apalagi, hampir setiap waktu truk sampah lewat di depan rumahnya,
"Kalau yang mobil dari induk dari PD Pasar ya nggak tahan baunya, blenger, pusing kepalanya," ujar perempuan berusia 57 tahun ini.
"Apalagi kalau pagi jam lima sampai 10 siang, macet ini jalan tuh," lanjut nenek dari tujuh cucu ini.
Cucu-cucu yang tinggal bersamanya pun terpaksa harus membiasakan diri dengan bau yang menyengat.
"Apalagi bau, makanan dari sampah aja anak cucu saya nggak papa, sudah biasa," paparnya.
Di tengah kondisi ini, dia berharap pemerintah menambah uang kompensasi bau untuk menunjang kesehatan keluarganya.
"Pengennya mah ya ada penunjangan lagi, misalnya sebulan Rp 300.000 kek, biar buat berobat anak-anak dan cucu," ujarnya.
Polemik dana kompensasi bau Bantar Gebang mencuat seiring dengan polemik pengelolaan sampah antara Pemkot Bekasi dengan Pemprov DKI Jakarta.
Pemkot Bekasi menambahkan kisruh sampah bukan karena dana hibah, melainkan persoalan tanggung jawab dari kerjasama kedua daerah terhadap dampak sampah.
Pasalnya, nominal yang diajukan Pemkot Bekasi terhadap pemprov DKI Jakarta belum cukup untuk membenahi pengelolaan sampah.
Selanjutnya, kedua belah sepakat untuk melakukan evaluasi di TPST Bantar Gebang. Sementara itu aktivitas pengiriman sampah berjalan normal. Meski begitu, truk sampah ini harus menaati jam operasional yang ditetapkan.
"Ini adalah bentuk kemitraan yang saling mengkoreksi, saling memperbaiki satu sama lain," ujar Wali kota Bekasi Rahmat Effendi.
"Kita ini proses dalam kepimpinan yang beradab, kata beradap itu adalah bagaimana kita membangun proses administrasi yang baik, kerja sama yang saling menguntungkan dan tidak merugikan warga," imbuhnya.
Pemkot Bekasi pula meminta DKI Jakarta untuk lebih memperhatikan kesehatan, pendidikan, sarana olahraga dan sistem air bersih di Bantar Gebang.
Kedua kepala daerah akhirnya sepakat untuk memperbaiki kerjasama, termasuk pengelolaan sampah Bantar Gebang.
"Kita ingin agar pembangungan Jabodetabekjur (Jakarta Bogor Tangerang Depok Bekasi dan Cianjur) itu dibangun dalam sebuah semangat integrasi karena memang perekonomian di wilayah ini terintegrasi, warganya pun terintegrasi," ujar Gubernur DKI Anies Baswedan.
Pemprov DKI Jakarta akhirnya menyetujui dana kemitraan yang diperuntukan sebagai uang kompensasi bau terhadap warga sekitar TPST Bantar Gebang serta proyek perbaikan kerusakan lingkungan di kawasan sekitar TPST senilai Rp199 miliar pada tahun anggaran 2019, atau naik Rp5 miliar dibanding tahun anggaran tahun sebelumnya.