Proyek Tol Cijago Seksi II Molor Akibat Harga Ganti Rugi

Proyek Tol Cijago Seksi II, Depok
Sumber :

VIVA – Proyek pengerjaan Tol Cinere-Jagorawi (Cijago) seksi II terancam molor akibat belum adanya kesepakatan harga dengan sejumlah warga di Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Depok, Jawa Barat. Padahal kisruh pembebasan lahan tol itu telah terjadi sejak 2007 silam.

Asyik! Tol Cinere-Jagorawi Selesai Dibangun, Depok ke Soetta Kini Bisa Lebih Cepat

Menanggapi hal itu, Kepala Dinas PUPR Kota Depok, Manto Djorghi mengatakan, kondisi itu terjadi akibat adanya ketidakcocokan harga antara warga dan pihak panitia pembebasan lahan.

"Setahu saya appraisal harga ada panduan ada indikatornya. Harga lahan usaha tentu beda dengan rumah tinggal. Tentu lebih besar nilai harga tempat usaha. Pemerintah sudah memikirkan itu, makanya sudah tidak perlu lagi sebenarnya negosisasi," katanya pada wartawan, Selasa 13 November 2018.

Jalan Tol Serpong-Cinere Siap Beroperasi Penuh, Tersambung hingga Cijago

Nilai appraisal yang dimaksud, telah disesuaikan dengan harga di tahun 2017 yang kisarannya Rp10 juta per meter. "Ini kan sudah sesuai harga pasaran. Itu yang saya pahami. Yang jelas kami tidak dilibatkan dalam pembebasan lahan. Itu kan tim pembebasan ketuanya BPN, tapi setahu saya appraisal harga ada panduan ada indikator," kata Manto.

Sementara itu, Syamsudin, selaku koordinator sejumlah warga korban terdampak Tol Cijago Seksi II mengungkapkan, permasalahan terjadi akibat tidak adanya musyawarah yang baik dari pihak panitia pengerjaan tol dengan warga.

Nasib Rumah Viral di Proyek Tol Cijago: Rata dengan Tanah Setelah Pembayaran Selesai

Misalnya wilayah Kukusan, kata Syamsudin, terdata ada 25 bidang lahan yang sampai dengan saat ini belum ada kejelasan terkait dengan dana ganti rugi. Karena itulah, sebanyak 19 kepala keluarga di wilayah itu sepakat melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Depok.

"Kenapa kita gugat karena mereka (pihak panitia tol) mengkonsinyasi secara sepihak. Tidak ada kesepakatan dengan warga," katanya pada wartawan saat ditemui di kediamannya.

Yang jadi permasalahan paling utama, jelas Syamsudin, adalah pihak panitia pembebasan lahan yang dalam hal ini BPN menyodorkan angka appraisal senilai Rp6,9 juta sampai Rp24,5 juta per meter. Padahal, menurutnya angka itu adalah nilai appraisal tahun 2015.

"Kami punya fakta perbandingan harga, saya punya kuitansi pembayaran lahan atau transaksi di bulan Juni 2015, atas nama Haji Asman, dia menjual sebidang tanah seluas 400 meter pada pihak apartemen dengan nilai transaksinya adalah Rp9,5 juta per meter," katanya.

Kemudian ada juga yang lahan warga yang letaknya tidak di pinggir jalan, tapi masih di kawasan terdampak Tol Cijago, pada tahun 2012, nilai jualnya Rp4 juta permeter. "Nah sekarang tahun 2018, masa disamakan dengan harga beberapa tahun lalu. Akses kami jelas, dekat UI dan ini jadi magnet pusat perniagaan dan lainnya," ujarnya menjelaskan.

Terkait hal itu, lanjut Syamsudin, warga sepakat akan terus bertahan meski telah cukup lelah menanti proses tersebut.

"Kami sudah surati Presiden minta perhatian. Kami minta percepatan pembebasan lahan. Kami sudah lelah dari tahun 2007 seakan tersandera, lahan tidak bisa dijual. Kalaupun kita perlu modal bawa sertifikat ke bank tidak diterima karena sudah di-plot untuk tol. Jadi kehidupan ekonomi kami pun repot karena banyak yang buka usaha di sini," ujarnya

Adapun luas lahan yang terkena imbas Tol Cijago sesi II di wilayah Kukusan itu mencapai 1,2 hektar. Karena sampai saat ini uang ganti rugi belum menemui titik kesepakatan, warga pun siap melakukan perlawanan jika nantinya rumah mereka tetap digusur.

"Kalau tetap dieksekusi kita akan berjuang semampunya. Kemaren kami sudah siap dengan bambu runcing," kata Syamsudin.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya