Aset First Travel Dibagikan, Tiap Korban Dapat Rp200 Ribuan
- ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
VIVA – Pengurus Pengelolaan Aset Korban First Travel atau PPAKFT menyampaikan keberatannya ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum, untuk menerima sekaligus mengkoordinir aset First Travel kepada para korban atau jemaah.
Hal itu, bahkan disampaikan langsung saat sidang vonis terhadap para terdakwa di Pengadilan Negeri Depok, tadi siang, Rabu 30 Mei 2018.
Kuasa hukum Korban First Travel/Tim Penyelamatan Dana Umroh (TPDU) TM Luthfi Yazid mengatakan, alasan keberatan itu di antaranya tidak adanya transparansi soal aset-aset FT.
Padahal, kata Luthfi, PPAKFT telah meminta secara tertulis daftar atau data barang sitaan kepada penyidik Bareskrim terkait aset yang disita, namun hingga kini belum juga jelas.
Penjelasan yang disampaikan JPU pun tak jauh berbeda. Misalnya, perihal aset kantor First Travel di Radar Auri Depok, maupun rumah Andhika Surachman di Sentul, Bogor. JPU menjelaskan bahwa aset-aset tersebut adalah milik orang lain.
"Menurut kami, ini adalah pernyataan sepihak, yang mestinya diklarifikasi dalam persidangan. Sebab itu, jika terjadi pengalihan atas aset selama perkara ini dalam proses litigasi, maka itu namanya pengalihan ilegal dan sepihak," kata Luthfi.
Ia pun menilai, JPU sebagai eksekutor negara mestinya tidak lepas tangan dengan hanya menyerahkan aset First Travel begitu saja kepada PPAKFT. Sebab, PPAKFT berpeluang untuk digugat dan dituntut. Apalagi, aset yang tercantum dalam surat tuntutan JPU, menurut perhitungan PPAKFT, hanya sekitar Rp20 miliar sampai Rp25 miliar.
"Jumlah itu jika dibagikan kepada sekitar 63 ribu jemaah, berarti setiap jemaah hanya dapat Rp200 ribuan. Padahal, uang jemaah yang masuk ke perusahaan itu diperkirakan hampir mencapai Rp1 triliun," ungkapnya.
Atas dasar itu, PPAKFT meminta perlindungan hukum kepada Kapolri dan Jaksa Agung, serta mendesak DPR membentuk Pansus First Travel, agar kasus ini dibongkar sampai ke akar-akarnya.
"Kasus ini adalah kasus umat dan membutuhkan pengawalan serius dan perlindungan yang maksimal dari pemerintah, (Kementerian Agama). Ini sangat penting, sebab kasus seperti ini hanyalah fenomena gunung es yang tidak mustahil akan terjadi lagi kasus serupa yang merugikan umat dengan skala lebih besar," ujarnya.
Jaksa bingung
Sementara itu, ketua tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), Herri Jerman mengaku terkejut dengan adanya penolakan PPAKFT di persidangan untuk mengelola aset First Travel.
"Saya agak terkejut, karena tadi ada penolakan yang semula tidak ada pernyataan seperti itu, sampai tuntutan juga tidak ada. Tetapi, justru setelah mau dibacakan putusan, kok korban menolak. Saya tidak mengerti ada seperti ini," katanya pada wartawan
Herri membantah keras tudingan yang menyebut pihaknya tidak transparan soal jumlah aset yang disita dari bos First Travel. "Tidak ada. Coba, tidak ada yang tidak dimasukkan dalam tuntutan, semua sesuai dengan sumpah," tegasnya
Hanya saja, Herri mengaku tidak tahu persis berapa total aset yang disita. Yang jelas, semua aset yang disita masih dalam keadaan aman disimpan di dalam gudang dengan jumlah lebih dari 500 item.
"Kalau mau hitung, kita harus taksasi dulu. Saya tidak bisa katakan nilainya berapa. Tetapi, jumlah barang semuanya sesuai dengan hasil sita dari penyidik. Dan, hakim juga katakan dari sita penyidik itu jadi alat bukti yang sah dan kita pastikan tidak ada yang tercecer. Dan, sampai saat ini ada di gudang," jelasnya
Ketika disinggung soal lelang aset, Herri mengaku hal itu dapat dilakukan jika putusan sudah inkracht atau memiliki kekuatan hukum tetap.
"Apa yang sudah diputuskan baik di pengadilan atau di pengadilan lebih tinggi, bahkan sampai kasasi, kita tunggu. Kalau sudah inkracht dan putusan sama dengan tingkat pertama ya dengan cara lelang. Tetapi, jangan bicara lelang karena belum inkracht," kata Herri.
Herri juga menegaskan, aset berupa mobil yang disita dari perusahaan tersebut pun masih lengkap. Sederet barang bukti itu berjejer rapih di kantor Kejaksaan Negeri Depok. "Masih ada lengkap. Sebagian sudah jadi milik vendor karena untuk pembayaraan utang Rp90 miliar. Secara hukum kita harus hormati hasil keperdataan itu," tambahnya.