Kubu Ahok Curiga Proses PK di MA Tak Wajar
- REUTERS/Bay Ismoyo
VIVA – Fifi Lety Indra, penasihat hukum sekaligus adik Basuki Tjahaja Purnama, menilai ada sejumlah hal yang tak wajar terkait dengan proses upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali yang diajukan Ahok ke Mahkamah Agung atas vonis terkait kasus penodaan agama yang membuat dia dihukum penjara. PK Ahok itu ditolak oleh MA.
"Ada beberapa hal yang tak wajar soal kasus Pak Ahok. Saat kita ajukan PK, ada yang tak wajar. Bagaimana pengajuan PK diputus cepat," kata Fifi di kantor Amnesty Internasional Jakarta, Kamis 5 April 2018.
Ia pun membandingkan putusan PK Ahok dengan PK Antasari Azhar. Mulai dari pendaftaran PK hingga sidang prosesnya masih wajar selama 22 hari. Lalu selesai sidang, berkas dilimpahkan ke Mahkamah Agung.
"Kasus Ahok 19 hari, Antasari 122 hari. Jadi ada beda. Dari pengumuman kita ketahui kenapa diputus cepat karena dianggap penting. Apanya?" kata Fifi.
Menurutnya, seharusnya semua orang diperlakukan sama di hadapan hukum. Ia pun mempertanyakan kenapa ada perlakuan yang spesial terhadap PK Ahok ini.
"Ada apa di balik ini semua. Hukum harus berlaku sama tanpa bulu. Ada sesuatu yang tak wajar," kata Fifi.
Ia pun pernah diberitahu hakim yang mengadili perkara Ahok bekas penasehat organisasi masyarakat Front Pembela Islam atau FPI. Kebenarannya ia mengaku tak tahu.
"Ada beritanya, siapa bohong, siapa benar enggak tahu juga. Kalau ada konflik kepentingan harusnya enggak boleh periksa," kata Fifi.
Seperti diketahui, Mahkamah Agung menolak PK Ahok, pada Senin, 26 Maret 2018.
"Pertimbangan semua alasannya tidak dapat dibenarkan oleh majelis jadi ditolak," ujar Juru Bicara Mahkamah Agung, Suhadi, saat dihubungi wartawan.
PK diajukan Ahok pada 2 Februari 2018. Ahok mengajukan PK atas perkara penodaan agama. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyatakan Ahok terbukti bersalah melakukan penodaan agama atas pernyataannya soal Surat Al-Maidah ayat 51, saat berpidato di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Majelis hakim memvonis Ahok dengan hukuman dua tahun penjara pada 9 Mei 2017.
(ren)