Asa di Balik Peninjauan Kembali Kasus Ahok
- ANTARA FOTO/POOL/Irwan Rismawan
VIVA – Proses hukum yang dijalani Basuki Tjahaja Purnama sebagai terpidana perkara penistaan agama, ternyata tak terhenti sampai dicabutnya permohonan banding yang diajukan penasihat hukum Ahok, atas vonis hukuman kurungan dua tahun penjara yang diputus majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Sebab, ternyata pada 2 Februari 2018, atau delapan bulan setelah menghuni rumah tahanan Brimob Kelapa Dua Depok, tim penasihat hukum Ahok mengajukan upaya Peninjauan Kembali atau PK ke Mahkamah Agung atas putusan hukuman majelis hakim PN Jakarta Utara.
Permohonan peninjauan kembali diajukan pemohon terpidana secara tertulis, dalam hal ini diajukan penasihat hukumnya, Josefina A. Syukur, SH, MH, serta advokat dan konsultan hukum pada Law Firm Fifi Lety Indra & Patrners, yang berkantor pusat di Jalan Bendungan Hilir IV No. 15, Jakarta Pusat.
Putusan pengadilan negeri yang dimohonkan peninjauan kembali adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utara, yang telah berkekuatan hukum tetap, yakni penetapan Ahok sebagai terpidana perkara penistaan agama.
Menurut penasihat hukum Ahok, Josefina Agatha Syukur, PK itu diajukan atas pertimbangan yang matang. Meski tak menyebutkan fakta dan dasar hukum yang akan dibawa di persidangan PK nanti. Tapi, Josefina mengaku memiliki bukti baru atau novum tentang adanya kekhilafan majelis hakim yang memutus perkara Ahok.
"Kekhilafan itu macam-macam. Bisa jadi (pasal) atau pertimbangannya sesuai dengan fakta atau tidak. Misal faktanya begini, tapi begini," kata Josefina di PN Jakarta Utara, Rabu, 21 Februari 2018.
Josefina menuturkan, tak ada harapan dan niatan lain dalam mengajukan permohonan PK itu, selain bisa membebaskan Ahok dari segala putusan pidana yang telah menyeretnya hingga ke balik jeruji besi. Ada dua tuntutan yang akan diajukan jika PK itu dikabulkan, yaitu pembebasan Ahok dan membersihkan lagi nama Basuki Tjahaja Purnama.
"Harapan tertinggi bebas dan direhabilitasi namanya," ujar Josefina.
Baca: Punya Bukti Baru Penistaan Agama, Ahok Ajukan PK
Terkait permohonan PK itu, MA juga sudah menyiapkan tiga hakim pilihan untuk memimpin jalannya persidangan PK yang direncanakan digelar di PN Jakarta Utara pada 26 Februari 2018 dan digelar secara terbuka.
Tiga hakim yang disiapkan yakni bakal mengemban tugas sebagai hakim ketua dan dua hakim anggota.
"Hakim sudah ditunjuk. Ketua Majelis dipimpin Pak Mulyadi, hakim anggota I Pak Salman Alfaris dan hakim anggota II Pak Sugiyanto," kata Humas PN Jakarta Utara, Jootje Sampaleng.
Permohonan PK Ahok berdasarkan hukum yaitu KUHAP Pasal 263 ayat 2 bahwa ada kekhilafan hakim dan atau ada kekeliruan yang nyata terhadap putusan yang lalu. Di mana dasarnya, putusan Buni Yani.
"Dia merujuk, membandingkan terhadap putusan Buni Yani. Terdakwa Buni Yani yang sudah jadi terpidana," ujarnya.
Sementara itu di lain pihak, Jaksa Agung Muda bidang Pidana Umum (Jampidum) Kejagung, Noor Rachmad, mengatakan pihaknya akan siap menghadapi PK yang diajukan Ahok.
"Kami menghargai seseorang, termasuk terpidana karena memang dia punya hak untuk PK atau grasi. Sekarang PK nah kami silakan ikut alurnya. Kalau dia mengajukan PK, maka kami akan ikut sidang nanti," kata Noor di Kejagung, Jakarta Selatan
Noor mengaku, pihaknya belum menerima tembusan panggilan dari pengadilan sidang PK. Jika nanti sudah menerima, pihaknya akan langsung menunjuk siapa yang mewakili Kejagung untuk sidang PK.
Menurut Noor, pihaknya kemungkinan akan kembali menunjuk Jaksa Ali Mukartono dalam sidang tersebut. Ali merupakan Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) perkara Ahok. "Dia kan jaksa yang mengikuti dari awal kan," ujarnya.
Baca: Ini Tiga Hakim yang Pimpin Sidang PK Ahok
Diketahui, majelis hakim PN Jakarta Utara memvonis Ahok dengan hukuman dua tahun penjara dalam perkara dugaan penodaan agama, dalam persidangan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jalan RM Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa 9 Mei 2017.
"Menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penodaan agama," ujar Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto.
Dalam pertimbangannya, hakim mengemukakan hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan di antaranya, terdakwa tidak merasa bersalah, perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan dan mencederai umat Islam, perbuatan terdakwa dapat memecah kerukunan antarumat beragama dan antargolongan.
Adapun hal yang meringankan, di antaranya terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa bersikap sopan selama persidangan, terdakwa bersikap kooperatif selama persidangan.
Kasus hukum yang menjerat Ahok bermula dari pidatonya di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, 27 September 2016. Pernyataan Ahok saat itu terkait Surat Al-Maidah Ayat 51 membawanya ke meja hijau.
Jaksa Penuntut Umum menjerat Ahok dengan Pasal 156 KUHP terkait kebencian terhadap golongan tertentu. Ahok tidak dikenakan Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama seperti dalam dakwaan sebelumnya.
Jaksa menuntut Ahok hukuman satu tahun kurungan penjara, dengan masa percobaan selama dua tahun.
Baca: Ahok Divonis Dua Tahun Penjara