Polisi: Korban Prostitusi Berkedok Terapis di Jakut Totalnya 30 Orang, Ada Anak di Bawah Umur

Ilustrasi pekerja seks (PSK)
Sumber :
  • The Globe and Mail

Jakarta, VIVA - Polisi mengungkap praktik prostitusi berkedok jasa terapis pijat di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Modus ini menjerat sebanyak 30 korban, termasuk lima orang korban masih di bawah umur. Para korban awalnya dijanjikan pekerjaan sebagai penjaga warung, tapi justru dipaksa bekerja melayani pria hidung belang.

Raup Rp 800 Juta per Bulan, Pelaku Pengurangan Takaran MinyaKita Diciduk Polisi

Kasus ini terungkap setelah pihak kepolisian melakukan penggerebekan pada Selasa, 4 Februari 2025. Awalnya, polisi hanya menemukan 16 korban, namun dalam proses penyelidikan jumlahnya bertambah menjadi 30 orang.

“Sewaktu penggerebekan kita cuma dapatkan 16 korban saja, kemudian berkembang saat pemeriksaan menjadi sekitar 30 orang. Dari jumlah tersebut, lima di antaranya masih di bawah umur,” ujar Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Tanjung Priok, AKP Gusti Ngurah Krishna Narayana saat dihubungi pada Rabu, 19 Februari 2025.

Polresta Tangerang Siapkan Skema Pantau Ganjil Genap di Tol Tangerang-Merak Jelang Lebaran

Ilustrasi prostitusi (PSK)

Photo :
  • VIVA/Andrew Tito

Hasil penyelidikan menunjukkan, bahwa para korban berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Tengah (Jateng). Mereka direkrut dengan iming-iming pekerjaan halal, tetapi malah dijual kepada pria hidung belang.

DPR Minta Polisi Usut Tuntas Temuan Ladang Ganja di Bromo Tengger Semeru

“Korban berasal dari wilayah Jabar dan Jateng. Awalnya, mereka dijanjikan pekerjaan sebagai penjaga warung atau kedai makan, tetapi kenyataannya mereka dieksploitasi dalam bisnis prostitusi,” jelas Krishna.

Kemudian, Krishna menyebut praktik prostitusi berkedok layanan terapi pijat di Tanjung Priok, Jakarta Utara ini sudah berlangsung selama 5 tahun. Dari hasil penyelidikan, kata dia, perputaran uang dalam bisnis ilegal ini mencapai miliaran rupiah dengan omset bulanan sekitar ratusan juta rupiah.

"Berdasarkan keterangan saksi dan hasil penyelidikan, setiap bulan ada transaksi masuk sekitar Rp 200 juta hingga Rp 250 juta dalam rekening tersangka,” ujarnya.

Setiap korban “dijual” dengan tarif Rp 2 juta per pelanggan, tetapi mereka hanya mendapatkan bayaran antara Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Dalam kurun waktu enam bulan, sindikat ini berhasil meraup keuntungan hampir Rp 1 miliar dari bisnis prostitusi tersebut.

Adapun, bisnis prostitusi ini dijalankan oleh seorang muncikari berinisial SM (56) dan rekannya TR (29). Keduanya menjual para korban kepada pelanggan dengan tarif sekitar Rp 2 juta per sesi. Namun, para korban hanya menerima upah sebesar Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu.

Lebih mengejutkan lagi, muncikari tidak memberikan seluruh hasil kerja korban secara langsung. Mereka berdalih uang tersebut akan dikumpulkan dan nantinya digunakan untuk membeli aset seperti mobil, ponsel iPhone, atau perjalanan ke luar negeri.

“Tersangka beralasan uang para korban tidak diberikan sepenuhnya karena akan ditabung dan dijadikan aset, sehingga korban tetap bertahan dalam jaringan ini,” ungkap Krishna.

Selain digunakan untuk membeli aset, hasil kejahatan juga dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para muncikari.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya