Diduga Lecehkan Santri, Guru Ngaji Ponpes di Jakarta Timur Iming-Imingi Uang

Kapolres Metro Jakarta Timur Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly.
Sumber :
  • ANTARA/Syaiful Hakim

Jakarta, VIVA - Kepolisian berhasil membongkar kasus pencabulan yang melibatkan pemilik dan guru ngaji sebuah pondok pesantren di Duren Sawit, Jakarta Timur. Sebanyak lima santri laki-laki diduga menjadi korban tindakan keji ini.

Polisi Dalami Dugaan Pencabulan di Pesantren Jakarta Timur, Satu Pelaku Masih Diburu

Kedua tersangka CH (47) yang merupakan pemilik pesantren, serta MCN (26) selaku guru ngaji di tempat tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.

Kapolres Metro Jakarta Timur, Kombes Nicolas Ary Lilipaly menjelaskan bahwa para korban diiming-imingi uang tunai berkisar antara Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu. Selain itu, para pelaku memberikan perlakuan istimewa kepada para korban untuk membangun kedekatan. 

Eks Pimpinan Ponpes Martapura jadi Tersangka Cabul, Korbannya Ada 20 Santri

“Korban diberikan uang dan diperlakukan lebih istimewa dibanding santri lainnya, seperti diizinkan menggunakan ponsel di lingkungan pesantren,” kata Nicolas pada Selasa, 21 Januari 2025.

Ilustrasi Pencabulan anak

Photo :
  • pixabay
Pemilik Pesantren di Jaktim Diduga Sodomi 7 Santri Pria

Setelah mencabuli korban, kata dia, pelaku mengajak mereka jalan-jalan sebagai upaya untuk membungkam dan menenangkan korban. Hal ini dilakukan secara berulang hingga para korban melaporkan kejadian tersebut.

Diketahui, kasus ini mencuat dari dua laporan berbeda. Dalam laporan pertama, CH dilaporkan telah melecehkan dua santri laki-laki yaitu MFR (17) dan RN (17). 

Laporan kedua mengungkap tindakan serupa oleh MCN terhadap tiga santri laki-laki lainnya, yakni ARD (18), IAM (17), dan YIA (15).

Meski kedua tersangka melakukan tindakan yang sama, polisi masih mendalami apakah terdapat hubungan atau pemufakatan di antara keduanya.

“Kami sedang melakukan pendalaman untuk memastikan apakah mereka memiliki komitmen bersama atau hanya kebetulan. Dari penyelidikan sementara, keduanya tidak saling mengetahui perbuatan masing-masing,” jelas Nicolas.

Kedua tersangka kini dijerat dengan Pasal 76E juncto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Mereka terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara atas tindakan mereka yang merusak masa depan para korban.

Saat ini, kepolisian bekerja sama dengan lembaga perlindungan anak untuk memberikan pendampingan psikologis kepada para korban. Trauma akibat pelecehan ini menjadi perhatian utama, mengingat korban masih berada di usia remaja yang rentan.

Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan lebih ketat terhadap lingkungan pendidikan berbasis agama, termasuk sistem pengawasan di pondok pesantren. Polisi mengimbau masyarakat untuk melaporkan dugaan tindakan serupa agar kasus serupa dapat dicegah di masa depan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya