Mabes Polri Diminta Ambil Alih Kasus Pemerkosaan Tiga Anak di Sulsel
- VIVA.co.id/istimewa
VIVA – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Sulawesi Selatan, mendesak Mabes Polri kembali membuka penyelidikan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap tiga anak di bawah umur yang dihentikan oleh Polres Luwu Timur dan Polda Sulawesi Selatan pada tahun 2019 dan 2020.
"Kami minta Polri mengambil alih dan melanjutkan proses perkara ini," kata ketua tim penasihat para korban, Rezky Pratiwi, saat memberikan keterangan pers di kantor LBH Makassar, Kamis malam, 7 Oktober 2021.
Kasus itu terkait atas laporan polisi diadukan oleh RS, mantan istri SA (43 tahun), seorang ASN di Inspektorat Pemda Luwu Timur, sebagai terlapor atas dugaan kekerasan seksual dan pemerkosaan ketiga anaknya masing-masing berinsial AL (8 tahun), MR (6 tahun) dan AL (4 tahun) yang dihentikan pada 10 Desember 2019.
Kasus itu kembali mencuat setelah ramai diperbincangkan publik, usai diumumkan di laman http//projetmultatuli.org hingga viral di sejumlah media sosial karena penghentian kasus itu.
Rezky menegaskan, kejadian yang menimpa anak-anak itu adalah tindak pidana. Pihak yang punya kewenangan untuk memproses perkara itu dan membawa pelaku ke pengadilan salah satunya adalah polisi.
"Polisi punya kewenangan. Makanya, kami mendesak, sekali lagi, Polri menindaklanjuti apa menjadi temuan kami yang sudah dilaporkan di Polda Sulsel agar bisa dibuka kembali dan diambil alih untuk ditindaklanjuti, agar para anak-anak bisa mendapatkan keadilan," ujarnya.
Menurutnya, sesuai fakta-fakta yang dikumpulkan oleh tim LBH hasil asesemen di Makassar, sangat penting untuk dibuka kembali. Sebab, penghentian kasus melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) itu dinilai prematur.
Sebab, hanya selang dua bulan setelah dilaporkan di Polres Luwu Timur pada 2019, langsung dibuat administrasi penghentian penyelidikan. Selain itu tidak dilakukan pemeriksaan saksi lain, selain para korban, sehingga tidak ditemukan petunjuk. Bahkan para korban tidak didampingi ibunya saat diperiksa serta pengacara atau lembaga sosial lainnya.
Kemudian, saat para korban dibawa ke Makassar, karena tidak mendapat layanan seharusnya di Luwu Timur, hasil asesmen dari psikolog malah mengeluarkan fakta sebaliknya. Anak-anak itu mengakui mendapat kekerasan seksual dari ayahnya bahkan ada pelaku lain melakukan hal yang sama terhadap mereka.
"Hasilnya, keterangan dari semua seragam dikatakan para anak korban. Bahkan yang paling kecil bisa memperagakan juga bagaimana itu dilakukan kepada mereka," katanya.
Sementara proses yang dijalani para korban di psikiater di Luwu Timur terlampau singkat, hanya 15 menit pemeriksaanya. Nahkan ibu para korban dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan. Padahal ada proses tahapan saat pemeriksaan kejiwaan pada seseorang, tidak secara singkat disimpulkan.
Selain itu, saat gelar perkara lanjutan di kantor Polda Sulsel pada Maret 2020, pihaknya selaku penasihat hukum sudah memasukkan dokumen-dokumen yang mendukung argumentasi saat gelar perkara itu, namun tetap dihentikan atau dikeluarkan SP3 dengan alasan tidak cukup bukti.
"Kami sudah melaporkan kasus ini ke Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Kementerian PPA. Bahkan ada rekomendasi dari Komnas Perempuan untuk melanjutkan kasus ini kembali. Tetapi, belum ada keterangan resmi melalui surat dari penyidik Polri, tapi hanya statmen di media saja didengar," katanya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono, dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Kamis, menyebutkan kasus itu memang sudah dihentikan tapi bisa dibuka kembali apabila ditemukan bukti baru.
"Kalau bicara penghentian penyidikan, itu bukan semua final. Apabila proses berjalannya ditemukan bukti-bukti baru, maka tidak menutup kemungkinan penyidikannya dibuka kembali," kata Rusdi. (ant)