Dokter Klinik Aborsi Ilegal Percetakan Negara Belum Bersertifikat

Polisi bongkar klinik aborsi ilegal di Percetakan Negara.
Sumber :
  • VIVA/ Foe Peace Simbolon.

VIVA – Seseorang berinisial DK yang berperan sebagai dokter di klinik aborsi ilegal Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat bukanlah dokter yang punya sertifikasi resmi sebagai dokter.

Klaim Bakal Usut Polisi Peras Penonton DWP Asal Malaysia, Propam Polda Metro Diturunkan

DK disebut pernah melakukan koas atau co-assistant di sebuah rumah sakit. Tapi, DK tidak menyelesaikan koas itu sehingga dirinya tidak memiliki sertifikasi sebagai dokter.

"Dia pernah melakukan koas di rumah sakit dan berlangsung dua bulan di sana sehingga yang bersangkutan belum memiliki sertifikasi sebagai dokter karena dia tidak selesai," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus kepada wartawan, Kamis 24 September 2020.

Budi Arie Diperiksa sebagai Saksi Dugaan Korupsi Mafia Akses Komdigi, Kasusnya Naik Penyidikan!

Baca juga: Klinik Aborsi Ilegal di Percetakan Negara Telah Gugurkan 32 Ribu Janin

Polisi lantas merinci latar belakang DK. Kata polisi, DK merupakan lulusan dari salah satu universitas di Sumatera Utara.

Budi Arie Diperiksa Polisi Hari Ini, Terkait Kasus Apa?

DK lantas direkrut oleh pemilik klinik berinisial LA yang juga telah ditetapkan jadi tersangka dalam kasus ini. DK pun setuju bergabung dalam klinik aborsi ilegal milik LA dan mengambil peran sebagai dokter yang melakukan aborsi.

"Dokter ini inisialnya DK lulusan universitas di Sumatera Utara," katanya.

Sepuluh orang telah ditetapkan tersangka dalam kasus ini, yaitu LA (52), DK (30), NA (30), MM (38), YA (51), RA (52), LL (50), ED (28), SM (62), dan RS (25). Mereka berperan mulai dari pemilik, dokter hingga petugas kebersihan klinik tersebut.

Atas perbuatannya para tersangka dikenakan Pasal 346 dan atau Pasal 348 ayat 1 dan atau Pasal 349 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP dan atau Pasal 194 juncto Pasal 75 Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan atau Pasal 77A. 

Kemudian, juncto Pasal 45A UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Mereka terancam hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya