Begini Modus Sindikat Predator Anak, Orang Tua Wajib Waspada

Polisi mengawal warga Perancis, FAC, tersangka kasus pencabulan atas 305 anak usai gelar perkara eksploitasi seksual terhadap anak di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (9/7/2020).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Adam Bariq

VIVA - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mensinyalir kasus kejahatan anak yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia melibatkan sindikat Warga Negara Asing (WNA). Dugaan itu diperkuat dengan sejumlah modus yang dilakukan oleh para pelaku, di antaranya memanfaatkan teknologi digital berbasis internet.

Anggaran Makan Bergizi Gratis Jadi Rp 10.000 Per Anak, Prabowo Beberkan Itung-itungan Pemerintah

Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, mengatakan hal itu telah lama menjadi sorotannya. “Ini sudah lama jadi agenda Komnas PA, dan sudah lama kita katakan, dari kasus yang terjadi di Bali, Batam, itu melibatkan WNA,” katanya saat ditemui di Balai Kota Depok dan dikutip pada Rabu, 15 Juli 2020.

Baca juga: Cabuli Ratusan Bocah, WN Prancis Terancam Dikebiri Hingga Hukuman Mati

Lihat Kondisi Anggaran, Prabowo Turunkan Dana Makan Bergizi Gratis Jadi Rp 10.000 Per Anak

Salah satu yang jadi sorotan Arist adalah kasus yang belum lama ini terungkap dan melibatkan WNA dengan jumlah korbannya mencapai 305 anak. Kasus itu ditangani Polda Metro Jaya.

“Yang terakhir belum lama ini yang 305 korban, kemudian ada juga warga negara Amerika. Saya memastikan dari pengalaman kita, termasuk predatornya ini adalah sindikat internasional.”

Resmikan RS, Titiek Soeharto: Kesehatan Ibu yang Baik Akan Lahirkan Generasi Unggul

Arist menyebut ada beberapa faktor yang membuat dirinya yakin jika hal itu dilakukan oleh sindikat. Salah satunya adalah tersangka yang belum lama ini ditangkap berakhir tragis, bunuh diri di dalam kamar tahanan.

“Kenapa dia bunuh diri, bisa-bisa karena dia tahu hukumannya lama, bahkan bisa seumur hidup. Kemudian bisa juga menjaga informasi jaringan, sehingga dia akhirnya bundir (bunuh diri),” tuturnya.

Lebih lanjut Arist mengungkapkan kasus seperti itu bukan kali pertama terjadi. “Dulu 2013 ada warga Australia yang dihukum 13 tahun penjara di Bali, nah dia gandir (gantung diri) juga karena sudah divonis. Saya pastikan itu sindikat. Karena ciri-cirinya seperti itu, dia ingin meninggalkan jejak, bundir, dia tahu risiko dan sebagainya.”

Terkait hal itu, Arist pun menyinggung pengawasan aparat terhadap tahanan atas kasus tersebut. “Kok tidak diawasi dengan baik saat ditahan. Karena itu dibutuhkan bagi kami. Proses hukum ke pihak kepolisian, tapi kita mau bekerja sama dengan Kemensos yang sudah mau melakukan terapi itu,” katanya.

Arist mensinyalir anak-anak yang menjadi korban kejahatan tersebut tidak hanya dilecehkan, tapi juga dieksploitasi untuk meraup keuntungan para pelakunya.

“Itu sebetulnya masih bisa diungkap agar dipastikan jaringan internasional eksploitasi seksual komersial yang sejauh ini diduga selain digunakan untuk kejahatan, tapi juga dimungkinkan para pelaku menjual gambar-gambar korbannya,” tuturnya.

Modus para pelaku tersebut, lanjut Arist, biasanya berkelompok atau masuk kategori groomer. Dugaan lainnya jika ini adalah sindikat, kata Arist, para pelaku tidak beraksi pada satu lokasi.

“Dia tidak melakukan di kontrakan, tapi di hotel ganti-ganti dengan memasang layar dan lain-lain. Itu berarti sindikat. Enggak mungkin tidak. Tapi anaknya (korban) di mana kita enggak tahu. Padahal kita ingin terapi. Yang tahu hanya pelaku, tapi sudah bundir,” tuturnya.

Kedok Baik Sindikat Cabul

Yang lebih mengkahawatirkan lagi, kata Arist, para korban berpotensi menjadi predator di kemudian hari.

“Ini akan menjadi pelaku yang sama, pelaku-pelaku lokal. Seperti yang terjadi di Sukabumi, si Emon, saat diperiksa polisi dia pernah punya pengalaman pahit waktu kecil. Di Sukabumi juga yang usia 11 tahun, dia pernah mengalami itu,” katanya.

Arist berharap kasus seperti itu dapat menjadi perhatian penuh aparat dan pemerintah termasuk para orangtua agar bisa mengawasi putra-putrinya dalam bergaul.

Sementara itu, Sekjen Komnas PA, Dhanang Sasongko, menambahkan untuk mencegah anak dari jeratan sindikat pedofil asing, ialah dengan mengawasi media sosial (medsos).

“80 persen adalah perkenalan mereka di medsos. Tolong masyarakat, orangtua mengontrol anak mereka yang remaja. Karena groomer tadi mereka menipu daya sampai ada yang iming-iming main musik gratis, seolah-olah sebagai kaka, sebagai ayah, terus curhat, sampai foto-foto dikirim,” jelasnya.

Karena itu, Dhanang berharap para orangtua aktif dan senantiasa memperhatikan pergaulan anak, termasuk di dunia maya.

“Makanya yang punya remaja, tolong sekali-kali dikontrol isi handphone anaknya. Isi foto WA di handphone anak, siapa teman dan grupnya. Karena mereka (pelaku) hari ini bersembunyi di balik kebaikan, lalu anak kita kurang kasih sayang, itu masuk perangkap mereka,” katanya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya