Pemulangan Pengungsi Rohingya Ditunda, Alasan Tak Jelas
- REUTERS/Cathal McNaughton/File Photo
VIVA – Proses repatriasi atau pemulangan kembali pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke negara bagian Rakhine, Myanmar, tertunda. Timbul kekhawatiran bahwa proses repatriasi ratusan ribu etnis Muslim tersebut memang masih terlalu dini.
Pejabat Bangladesh mengonfirmasi bahwa proses repatriasi yang dijadwalkan dimulai hari ini akhirnya harus tertunda. Sementara itu, Abul Kalam dari Komisi Pengungsi dan Repatriasi mengatakan pihak terkait sedang mengerjakan hal lain.
The Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) yang memprovokasi gerakan untuk melawan operasi pembersihan militer terhadap desa-desa Muslim di Rakhine juga menyatakan bahwa pemulangan itu berisiko.
"Pemerintah teroris Myanmar dengan licik menawarkan pengungsi Rohingya yang dipulangkan untuk tinggal di tempat yang disebut kamp sementara di bagian Arakan Utara, alih-alih membiarkan mereka bermukim di tanah leluhur dan desa mereka sendiri," dirilis melalui pernyataan ARSA dilansir dari Asian Correspondent, Selasa, 23 Januari 2018.
Tak hanya ARSA yang menyatakan keprihatinannya, Perserikatan Bangsa Bangsa, akademisi dan kelompok kemanusiaan internasional juga menyuarakan keberatan atas pemulangan pengungsi tersebut.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres pada pekan lalu menyatakan keprihatinannya, sebab Badan Pengungsi PBB atau UNHCR tidak terlibat secara langsung dalam kesepakatan repatriasi antara Myanmar dan Bangladesh.
Menurut Guterres, sangat penting bagi UNHCR untuk dilibatkan dalam kesepakatan repatriasi untuk memastikan standar internasional selama proses pemulangan tersebut.
"Apa yang penting dalam hal ini adalah memastikan bahwa pemulangan itu bersifat sukarela, aman dan bermartabat, serta orang-orang diizinkan untuk kembali ke tempat asalnya," ungkap Guterres.
Hal yang sama diutarakan Jeff Crisp dari Oxford University yang merupakan seorang pakar kebijakan pengungsi. Menurutnya, tak ada rincian yang dikeluarkan mengenai cara Bangladesh dan Myanmar mengatur dan membiayai kembalinya populasi Rohingya ke Rakhine.
"Tanpa solusi yang mencakup pengakuan kewarganegaraan bagi Rohingya dan hak asasi manusia, kami cenderung akan melihat sejarah berulang kembali terjadi di masa depan," ujar Crisp.