Pengungsi Rohingya Rekam Kesadisan Militer di Ponsel

Bantuan Untuk Pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh
Sumber :
  • REUTERS/Danish Siddiqui

VIVA – Sejak akhir Agustus lalu, lebih dari 630.000 pengungsi asal Rohingya berhasil melintasi perbatasan. Mereka kini menetap di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh. Di pengungsian, mereka membawa serta cerita tentang penganiayaan dan kekerasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar.

Ingin Tangkap Pemimpin Militer Myanmar, ICC: Rohingya Tidak Pernah Dilupakan

Desa mereka, rumah mereka, ternak mereka, emas mereka, segala sesuatu yang mereka miliki, kini telah menjadi kenangan indah. Kenangan itu sebagian tersimpan di dalam memori ponsel mereka.

Saat Mujib Ullah, 22 tahun, sedang duduk dengan saudara perempuannya di dalam tempat penampungan yang gelap, di Kamp Pengungsi Kutupalong, dia teringat saat mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar menyerang desanya di Khularbil bersama dengan desa tetangga Borgiyabil.

Setelah Israel-Hamas, ICC Buru Pimpinan Militer Myanmar yang Lakukan Kejahatan Pada Muslim Rohingya

Ia lalu memperlihatkan rekaman video dari ponselnya yang bagaimana menunjukkan orang-orang di Borgiyabil mencoba memadamkan api setelah militer Myanmar menyerang desa mereka dengan "bom bensin."

Ullah mengatakan, meskipun mereka mati-matian berusaha untuk memadamkan api dengan pasir dan air hingga berember-ember, tapi rumah-rumah itu tetap terbakar.

Usai Ditolak di Aceh Selatan, Kondisi Pengungsi Rohingya Terkatung-katung di Banda Aceh

Segera setelah serangan tersebut, keluarga Ullah keluar dari rumah mereka bersama dengan orang-orang lain dari desa tersebut. Mereka berpikir bahwa militer telah pergi. Tiba-tiba suara tembakan terdengar dan desingan peluru meluncur melintasi telinga.

"Beberapa orang mampu menyelamatkan diri mereka sendiri, yang lain tidak bisa," kata Ullah. "Saudaraku tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri, dia tewas diterjang peluru," tuturnya.

Sementara itu, Mohammad Fahid, 15, mengatakan bahwa ia sering sengaja melihat-lihat foto dan video lama di ponselnya. Ia ingin mengingat teman-temannya dan semua tawa dan saat-saat menyenangkan ketika mereka tinggal bersama di Myanmar.

Ketika ditanya apa yang paling dia rindukan, dia menjawab dengan cepat dan mengatakan bahwa dia merindukan sekolah lebih dari apa pun. "Saya ingat negara saya, saya sangat merindukannya," kata Fahid, seperti diberitakan oleh Al Arabiya, 26 Desember 2017.

Kehidupan di kamp pengungsi yang padat di Bangladesh tidaklah mudah. Tanpa kesempatan untuk bekerja, pria dan wanita paling khawatir dengan apa yang akan mereka makan berikutnya.

Hampir 60 persen pengungsi adalah anak-anak, yang menghabiskan waktu mereka berkeliaran di sekitar kamp atau membantu keluarga mereka membawa bantuan atau kayu bakar.

Bagi Abdul Hasan yang berusia 16 tahun, menonton video dalam ponselnya adalah cara untuk mengobati rasa rindu pada kampung halaman. Salah satu tontonan favoritnya adalah saat ia dan teman-temannya melakukan 'pesta kelapa.'

Diiringi lagu dengan syair memuji keberanian seorang pemimpin pemberontak Rohingya Ata Ullah, Hasan dan teman-temannya bermain dan saling melempar kelapa.

Manusia yang Ditolak

Pemerintah Myanmar, negara dengan agama mayoritas Buddha menolak untuk menerima Muslim Rohingya sebagai kelompok minoritas. Padahal mereka telah tinggal di negara ini selama beberapa generasi.

Warga Rohingya dilucuti kewarganegaraan mereka pada tahun 1982. Pemerintah Myanmar menyangkal membuat mereka menjadi manusia tanpa kewarganegaraan.

Meskipun pembicaraan tentang pemulangan dan pemindahan pengungsi Rohingya telah dimulai antara pemerintah Bangladesh dan Myanmar, tampaknya upaya itu akan sangat lama sebelum mereka dapat kembali ke rumahnya di Myanmar. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya