Ribuan Anak Rohingya Jadi Yatim Piatu

Etnis Rohingya menjadi korban kekejaman tentara Myanmar.
Sumber :
  • Aljazera.

VIVA.co.id – Sekitar 1.400 anak Rohingya berhasil melintasi perbatasan Myanmar-Bangladesh dan memasuki Bangladesh. Namun, mereka datang tanpa orangtuanya, dan kebanyakan dari mereka adalah yatim piatu.

Setelah Israel-Hamas, ICC Buru Pimpinan Militer Myanmar yang Lakukan Kejahatan Pada Muslim Rohingya

Rashid baru berusia 10 tahun. Namun, bahu kecilnya sudah harus menanggung beban berat. Ia, kini juga harus bertanggungjawab atas nasib adiknya, Rashida, yang baru berusia enam tahun.

Rashid dan Rashida tak sendirian. Menurut pemberitaan al Jazeera, Minggu 24 September 2017, ada sekitar 1.400 anak yang tiba di Bangladesh, tak jauh dari perbatasan Myanmar, tiba tanpa orangtua mereka. Ada yang orangtuanya tewas terbunuh, ada juga yang terpisah, setelah militer melakukan serangan brutal ke desa-desa tempat mereka tinggal di sebelah barat Rakhine.

Usai Ditolak di Aceh Selatan, Kondisi Pengungsi Rohingya Terkatung-katung di Banda Aceh

Menurut cerita Rashid, ayahnya bernama Zahid Hossain dan ibunya, Ramija Khatun, keduanya tewas dibunuh oleh militer Myanmar.

The Child Friendly Space (CFS) di kamp pengungsi Kutupalong di Cox's Bazaar beramai-ramai mengajak anak-anak tersebut melakukan aktifitas bersama. Lebih dari 60 anak diajak melakukan kesibukan dengan menggambar, mewarnai, dan bermain dengan aneka mainan. Rashid dan Rashida bermain dengan gembira, sejenak melupakan kepedihan mereka karena harus hidup tanpa orangtua.

Seorang Warga Myanmar Ditangkap Terkait Penyelundupan Rohingya ke Aceh

Rashid, diceritakan al Jazeera, bertemu tetangganya di pegunungan, saat berjalan menuju lokasi perbatasan. Ia memutuskan bergabung bersama tetangganya. "Itu hari Jumat, saya langsung berlari menarik tangan adik saya, menuju bukit, tak lama setelah tentara tiba. Saya sempat kembali dan melihat kedua orangtua saya meninggal dunia," ujarnya.

Ia sempat tak tahu harus melakukan apa, sampai akhirnya memutuskan ikut berjalan seperti warga yang lain. Di tengah jalan menuju bukit, ia bertemu dengan tetangganya, dan akhirnya ikut bergabung. "Saya berjalan kaki selama tiga hari menuju perbatasan Bangladesh. Saya menyeberangi sungai Naf, dan memasuki Bangladesh, satu hari sebelum hari raya Kurban," ujarnya.

Rashid mengaku bersyukur, karena tetangganya memperlakukan ia dan adiknya dengan baik. Faria Selim, seorang relawan CFS mengatakan, setelah bertemu dengannya sekitar tiga pekan lalu, hampir setiap hari Rashid datang dan mengatakan kepadanya, kedua orangtuanya sudah meninggal dunia. "Kini, ia sudah mulai bisa menerima kenyataan. Ia mulai kembali ceria dan belajar melupakan kepedihannya," komentar Faria.

Rashid dan Rashida tak sendirian. Kisah yang sama juga diceritakan oleh Nur Hossain, 12 tahun, dan adiknya Jahura Begum, yang baru berusia tujuh tahun. Dari sembilan orang anggota keluarga, hanya mereka berdua yang selamat, lainnya tewas. "Saat itu sekitar pukul 10 pagi, pada 25 Agustus, ketika desa kami di Rodiongsong, Maungdaw, diserang. Saya menarik tangan adik saya, membawanya lari melintasi persawahan, dan mengikuti warga desa lainnya," ujarnya. "Kedua orang tua kami, Sultan Ahmed dan Hajera Khatun, meninggal dalam serangan itu. Warga desa lainnya membawa kami ke sini," ujarnya.

Nur juga mengatakan, sejak dua tahun terakhir, anak-anak Rohingya dan Rakhine tidak lagi bersekolah di sekolah yang sama. "Kami dipisahkan, dan anak-anak Rakhine dipindahkan ke sekolah lain," ujarnya.

Dulu Nur, senang bermain sepak bola. Namun, setelah merasakan ketakutan pada militer, ia berhenti bermain bola. "Di sini, kami tak lagi takut pada tentara. Tetapi, kenangan tentang orangtua tak bisa saya lepaskan. Saya mengingat mereka dengan baik. Mereka sangat mencintai saya, dan sekarang mereka tak ada lagi," ujarnya.

Rashid, Rashida, Nur Hossain, dan Jahura Begum hanya sebagian kecil dari anak-anak Rohingya yang kini menjadi yatim piatu. Masih ada lebih dari 1.000 anak-anak yang tak punya orangtua lagi tinggal Cox's Bazaar. Mereka tak memiliki orangtua, kehilangan anggota keluarga lainnya, dan yang menyedihkan adalah kehilangan kehangatan keluarga. (asp)

Gedung Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda

Ingin Tangkap Pemimpin Militer Myanmar, ICC: Rohingya Tidak Pernah Dilupakan

Jaksa agung Mahkamah Pidana Internasional (ICC) tengah mengajukan surat perintah penangkapan bagi pemimpin militer Myanmar atas kejahatan terhadap Muslim Rohingya.

img_title
VIVA.co.id
28 November 2024