PBB: Kasus Rohingya adalah Pembersihan Etnis
- Reuters/Lucas Jackson
VIVA.co.id – Kasus kebrutalan militer yang terjadi terhadap etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar, akhirnya membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersuara. Sekretaris Jenderal PBB menyebut kasus itu sebagai pembersihan etnis.
Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan, gelombang pengungsi dari sepertiga Muslim Rohingya adalah indikasi pembersihan etnis. Guterres juga menyampaikan peringatan, apa yang terjadi di Rakhine bisa menimbulkan ketidakstabilan kawasan.
Soal pembersihan etnis adalah jawaban yang disampaikan oleh Guterres ketika wartawan bertanya, apakah yang terjadi di Myanmar adalah pembersihan etnis? "Ketika sepertiga penduduk Rohingya harus meninggalkan negara, bisa kah Anda menemukan kata yang lebih baik untuk menggambarkannya," ujar Guterres.
Pernyataan itu disampaikan setelah Dewan Keamanan PBB menggelar sidang tertutup pada Rabu, 13 September 2017. Pertemuan dihadiri 15 anggotanya, termasuk China. Sidang itu mengecam kekerasan di Rakhine dan mendesak harus diambil segera langkah-langkah untuk menghentikannya.
Usai pertemuan, dewan mengeluarkan pernyataan yang disepakati secara bulat yang mengecam 'serangan awal atas pasukan keamanan dan kekerasan setelahnya'.
Pernyataan itu juga mengungkapkan 'keprihatinan atas laporan-laporan tentang kekerasan yang berlebihan selama operasi militer’ dan menyerukan 'langkah mendesak untuk mengakhiri kekerasan di Rakhine' serta menjamin 'perlindungan para warga sipil'.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Guterres di New York. Seperti dikutip BBC, Kamis 14 September 2017, selain mengecam militer Myanmar, Guterres juga meminta pihak berwenang Myanmar segera menangguhkan aksi militer, mengakhiri kekerasan, dan menegakkan hukum serta mengaku hak untuk kembali bagi semua yang sudah meninggalkan negara itu.
Lebih dari 380.000 warga Rohingya di Myanmar, yang total berjumlah 1,1 juta jiwa, melarikan diri ke Bangladesh sejak meletusnya aksi kekerasan di Rakhine. Meski sudah beberapa generasi tinggal di Myanmar, namun pemerintah Myanmar tak pernah mau mengakui keberadaan mereka.