Jaksa Agung RI dan Singapura Komit Berantas Kejahatan Serius
- Viva.co.id/Bobby Andalan
VIVA.co.id – Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Singapura menandatangani nota kesepahaman tentang kerja sama di berbagai sektor. Nota kesepahaman itu ditandatangani langsung oleh Jaksa Agung Indonesia, HM Prasetyo dan Jaksa Agung Singapura, Lucien Wong.
Prasetyo menjelaskan, kerja sama itu meliputi pelatihan, pertukaran pengalaman, informasi atas hukum, peraturan perundang-undangan, kebijakan-kebijakan yang berlaku, dan juga penyediaan beberapa informasi terkait penanganan perkara.
"MoU ini kami sudah inginkan sejak lama, sudah dirancang dan digagas sejak tahun lalu. Waktu itu kami berkunjung ke Singapura atas undangan mereka. Hari ini Lucien Wong melakukan kunjungan balasan," kata Prasetyo usai acara Pertemuan Bilateral dan Penandatanganan MoU antara Kejaksaan Agung Indonesia dan Singapura di Jimbaran, Selasa 29 Agustus 2017.
Prasetyo menjelaskan, secara konkret ada beberapa hal yang disepakati dalam nota kesepahaman tersebut. Di antaranya adalah kasus-kasus kejahatan serius seperti korupsi, terorisme, narkotika, batas negara, di mana banyak nelayan Indonesia yang masuk wilayah perairan Singapura.
Selain itu, ada pembahasan mengenai kejahatan lingkungan terkait limbah asap yang sering dikeluhkan oleh Singapura.
"Soal limbah asap itu saya sampaikan kelalaian dan ada juga kemungkinan kesengajaan untuk membuka lahan perkebunan. Pelakunya bukan semata-mata warga Indonesia, karena banyak investor negara lain, termasuk dari Singapura yang punya bisnis di Indonesia," tutur dia.
Selain itu, Prasetyo menegaskan jika pembahasan menyinggung mengenai upaya mendeteksi harta kekayaan yang dijarah koruptor dan dibawa ke Singapura dalam upaya pencucian uang.
"(Deteksi harta koruptor dan money laundering) kita bahas tadi. Mereka memiliki sikap sama dengan kita. Tanggung jawab kita lebih berat dan besar. Ini sinyal pelaku kejahatan, mereka tak harus lagi semena-mena melakukan kejahatan di kedua negara," Prasetyo menegaskan.
Selama ini, Prasetyo tak menampik jika terdapat kendala di kedua negara untuk menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan kejahatan transnasional. Hal itu terjadi lantaran perbedaan sistem hukum antara Indonesia dan Singapura, di mana Indonesia menganut common law system dan Singapura menganut sistem hukum Anglo Saxon.
"Ada beberapa kendala yang kita hadapi, utamanya praktik penegakan hukum kedua negara, perbedaan sistem hukum. Ini menjadi hal yang sering kali menghambat dan mengganjal. Sekat-sekat yang ada tadi sudah disepakati untuk dikesampingkan melalui MoU ini," ujarnya.
Ekstradisi Tak Dibahas
Sementara itu, Prasetyo menyebut ekstradisi tak menjadi bagian yang dibahas dalam nota kesepahaman tersebut. Hanya saja, sejauh ini antara Indonesia dan Singapura telah memiliki kesepakatan lain untuk mengekstradisi buron melalui mutualisme legal assistance atau bantuan timbal balik kedua negara.
Perjanjian itu telah dipraktikkan dalam beberapa kasus. "Itu sudah kita lakukan. Perkara korupsi bukan hanya monopoli musuh Indonesia saja, tapi musuh bangsa-bangsa. Untuk perjanjian ekstradisi tahun 2007 sudah ditandatangani tapi belum diratifikasi. Kita berharap perjanjian ekstradisi ini bisa segera dilaksanakan," ucapnya.
Kesepakatan dengan Singapura itu, menurut Prasetyo, sebagai bentuk sikap nyata jika Singapura tak ingin disebut sebagai negara pelindung koruptor. Hanya saja, Singapura mengalami kendala ketika Indonesia meminta ekstradisi beberapa buronan dalam kasus korupsi. Kendalanya yakni para buron itu memiliki dua paspor saat hendak diekstradisi.
“Hal itu membuat mereka ragu mengambil tindakan. Tapi dengan ini (MoU) kendala seperti itu bisa diatasi," ungkap Prasetyo.