Perjuangan KBRI Riyadh Atasi Masalah PRT di Arab Saudi
- REUTERS
VIVA.co.id – Pekerja rumah tangga (PRT) asal Indonesia terkenal dengan kesetiaan, kerendahan hati dan kerja kerasnya di mata masyarakat Saudi. Tidak mengherankan banyak tenaga kerja Indonesia yang dipekerjakan di Kerajaan Saudi.
Tidak seperti warga negara lain yang umumnya tinggal di wilayah yang berdekatan, orang Indonesia tersebar di seluruh wilayah Saudi. Sebagian besar mereka adalah wanita dan berasal dari daerah pedesaan di Indonesia. Tak mudah bagi mereka untuk menghubungi perwakilan negara atau misi diplomatik di tempat mereka bekerja.
Memberikan bantuan untuk daerah terpencil adalah pekerjaan yang menantang bagi misi diplomatik Indonesia di Riyadh dan di Jeddah. Namun, misi Indonesia telah mengembangkan mekanisme yang efektif untuk memenuhi kebutuhan warganya yang bekerja di Kerajaan Saudi.
Mengatasi keluhan warga negaranya adalah tugas utama setiap misi diplomatik, demikian juga halnya diplomat Indonesia di Saudi. Salah satunya yaitu mempertahankan kewajiban kontrak kedua belah pihak, yaitu antara majikan dan pekerja.
Dalam mengukur keberhasilan fungsi mekanisme, Kedutaan Besar RI di Riyadh mengungkapkan, bahwa mereka telah berhasil menangani 585 kasus pekerja yang tidak dibayar, di mana total upah tersebut mencapai SR5,8 juta selama enam bulan terakhir. Selain itu, konsulat di Jeddah juga telah menangani 103 kasus serupa dengan total jumlah SR1,6 juta untuk periode yang sama.
Dilansir Saudi Gazette, Jumat 11 Agustus 2017, dalam kasus terakhir KBRI berhasil mengupayakan pembayaran gaji yang tertunda selama 22 tahun, untuk salah satu WNI yang bekerja sebagai PRT di Sakaka. Sementara itu dalam kasus lain, Konsulat Jenderal RI di Jeddah juga berhasil mencairkan upah yang tertunda selama 19 tahun, bagi salah satu WNI yang bekerja di Tabuk.
"Kami tidak akan memperbarui paspor warga negara mereka, kecuali jika kita bertemu dengan mereka secara pribadi dan menanyakan kondisi kesejahteraan mereka," kata Dede Refai, Atase Konsulat RI.
Sebelum kembali ke Jakarta, Dede mengatakan, pada saat ini pihak KBRI telah mengetahui posisi aktual dan tingkat kepatuhan kewajiban kontrak. Mereka juga menerima keluhan dari keluarga-keluarga di Indonesia, mengenai kasus-kasus hilangnya komunikasi maupun pelanggaran kontrak kerja.
"Sukmi binti Sadr Umar tiba pada tahun 1995 untuk bekerja di Sakaka. Sejak itu ia kehilangan komunikasi dengan keluarganya. Ketika tahu tentang kasus ini, kami menelusurinya ke Sakaka dan mengirim staf kami untuk menemuinya. Kami menemukan bahwa dia belum mendapatkan gaji bulanan selama 22 tahun," katanya.
KBRI berhasil mengupayakan pembayaran gaji yang bersangkutan dan berhasil mengembalikan Sukmi ke rumah. (mus)