Masjid Inklusi di Berlin, Pria dan Wanita Salat Satu Saf
- Reuters
VIVA.co.id – Sebuah masjid di Berlin menarik perhatian bukan hanya karena lokasinya yang berada di dalam gedung gereja St Johannes. Namun bagaimana para pengurus masjid ini menjalankan keyakinan mereka juga menarik.
Gereja St Johannes adalah gereja dari abad ke 19. Tapi di salah satu sudut bagian atas gereja, mereka menyewakan sebuah ruang yang digunakan untuk masjid. Tapi masjid ini segera menjadi pembicaraan karena aktivitasnya yang berbeda dengan masjid pada umumnya.
Di masjid yang diberi nama Ibnu Rushd ini, laki-laki dan perempuan salat bersama dalam satu saf. Tak ada pemisahan saf atau pemisahan ruangan. Bahkan perempuan juga diijinkan menjadi imam masjid, sesuatu yang revolusioner, karena biasanya imam salat Jumat adalah laki-laki. Kelompok homoseksual, gay atau lesbian juga diterima dengan tangan terbuka di masjid ini.
"Masjid kami terbuka untuk siapa saja," ujar Seyran Ates, pendiri masjid tersebut, seperti dikutip dari BBC, 6 Agustus 2017. Ates adalah warga Jerman kelahiran Turki, profesinya adalah seorang pengacara. Ia juga seorang aktivis hak-hak perempuan.
"Dan kami benar-benar serius soal ini. Setiap orang, setiap gaya. Kami bukan Tuhan, jadi kami tak perlu ambil keputusan siapa yang jahat dan siapa yang baik. Siapa saja boleh memasuki pintu ini, apakah Anda seorang heteroseksual atau homoseksual. Kami tak peduli. Kami tak punya hak untuk menanyakan itu," ujarnya menegaskan.
Masjid Ibnu Rushd memilih memposisikan diri sebagai bagian dari gerakan sosial religius Islam inklusif. Saat ini, gerakan menjadikan masjid sebagai poros gerakan Islam inklusif terus berkembang di seluruh dunia. Beberapa masjid bahkan berlokasi di rumah-rumah pribadi, beberapa berpindah-pindah tempat. Namun menurut Ates, masjid Berlin adalah sebuah langkah besar dalam proses gerakan Islam inklusi. Karena ini adalah masjid liberal yang pertama menetap. Ini bukan tempat tertutup. "Kami sangat terbuka. Kami beri tahu setiap orang, ini adalah sebuah tempat yang bisa Anda datangi kapan saja," ujarnya.
Masjid inklusi pertama didirikan di Paris pada tahun 2012 oleh Ludovic-Mohamed Zahed, seorang imam gay dari Aljazair yang saat ini tinggal di Prancis bersama pasangannya. Ia juga bekerjasama dengan Ates untuk mendirikan berbagai masjid inklusif di mana saja, termasuk di Inggris. "Eropa adalah tempat di mana kita bisa melakukan gerakan ini, apa yang kita anggap sebagai gerakan reformasi Islam. Karena di sini kita bebas berekspresi, demokratis, pendidikan, dan kesejahteraan," tuturnya.
Ates mengaku telah ratusan kali menerima ancaman pembunuhan dari kelompok-kelompok ekstremis. Kebanyakan mereka dari Turki dan Arab. Tapi ia tetap melanjutkan keyakinannya.